Danau air tawar terbesar di Asia Tenggara ini bukan sekadar perairan, Tonlé Sap merupakan sumber kehidupan bagi jutaan manusia dan ribuan spesies langka yang kini berada di ambang kehancuran.
Penambangan pasir di Sungai Mekong di Phnom Penh, Kamboja. Foto: Andy Ball/Universitas Southampton via Phys.Ringkasan
- Tonlé Sap, danau terbesar di Asia Tenggara, kini kehilangan “aliran balik” yang menyehatkannya.
- Penyebab utama, penambangan pasir berlebihan di Sungai Mekong Kamboja dan Vietnam.
- Jika terus berlanjut, sistem danau bisa kolaps total dalam 10 tahun, mengancam ekosistem dan ketahanan pangan.
SEBUAH studi baru dalam Nature Sustainability memperingatkan bahwa penambangan pasir besar-besaran di Sungai Mekong mengancam kelangsungan Danau Tonlé Sap di Kamboja.
Bila hal tersebut dibiarkan, bencana ekologis berskala Asia Tenggara bisa terjadi dalam satu dekade.
Tonlé Sap adalah keajaiban hidrologi dunia. Setiap tahun, aliran Sungai Mekong berbalik arah selama musim hujan, membanjiri danau dengan air baru dan sedimen yang subur.
Fenomena “aliran balik” ini menjadikan Tonlé Sap sebagai “kapasitor banjir” alami, menampung air saat musim hujan, lalu melepaskannya perlahan di musim kering.
Tanpa mekanisme ini, Delta Mekong di Vietnam—rumah bagi 23 juta orang, akan rawan kekeringan dan banjir ekstrem.
Namun, studi internasional yang dipimpin University of Southampton dan Loughborough University menunjukkan bahwa “denyut nadi” alamiah itu mulai melemah drastis.
Antara 1998 hingga 2018, volume aliran balik menurun 40–50%, akibat pendangkalan dasar sungai (riverbed incision) oleh penambangan pasir besar-besaran.
Jika tren ini terus berlanjut hingga 2038, penurunan bisa mencapai 69%.
“Dalam sepuluh tahun, sistem ini bisa ambruk total,” ujar Prof. Steve Darby, pakar geografi fisik di Southampton. “Tonlé Sap adalah pusat kehidupan di Asia Tenggara. Jika ia mati, ekosistem Mekong akan ikut runtuh.”
Pasir kini menjadi komoditas yang lebih diperebutkan daripada minyak. Ledakan urbanisasi di Asia, dari Hanoi hingga Jakarta, menciptakan permintaan konstruksi yang tak pernah surut.
Akibatnya, Sungai Mekong kini kehilangan lebih dari 100 juta ton pasir setiap tahun. Pasir itu menjadi beton, jalan, dan gedung; tapi meninggalkan luka ekologis di perut bumi.
“Penambangan pasir dan bendungan di hulu mempercepat penurunan dasar sungai,” jelas Dr. Quan Le, peneliti risiko banjir delta dari Loughborough.
“Tonlé Sap kini kehilangan kemampuan menampung air, danau mengering lebih cepat, dan ikan berkurang drastis.”
Bagi warga lokal, dampaknya terasa di meja makan. Danau ini dulunya menyediakan hingga 60% protein Kamboja, memberi makan sekitar 6 juta orang.
Kini, nelayan di sekitar Siem Reap melaporkan penurunan hasil tangkapan liar dan kematian ikan tambak hingga 80%.
“Dulu kami hidup dari air, sekarang air membawa kematian,” kata seorang nelayan kepada tim peneliti, seperti dikutip Prof. Craig Hutton. “Kami hanya ingin kehidupan lain untuk anak-anak kami, asal bukan nelayan.”
Kerusakan Tonlé Sap bukan hanya masalah Kamboja.
Ketika danau kehilangan kapasitasnya, air banjir akan langsung mengalir ke Delta Mekong, memperburuk banjir di Vietnam, dan merusak pertanian padi yang menopang jutaan warga.
Dampaknya akan terasa lintas negara, dari hilangnya keanekaragaman hayati hingga gangguan pangan regional.
Para ilmuwan menyerukan pengelolaan sedimen yang berkelanjutan, moratorium penambangan pasir di area kritis, dan kerja sama antarnegara Mekong.
Tanpa tindakan cepat, keajaiban ekologis yang pernah disebut “jantung air tawar Asia Tenggara” bisa berubah menjadi danau mati dalam hitungan tahun.
Disadur dari Phys.org.
إرسال تعليق