Tak Paham Perasaan Sendiri, Orang Tua Rentan Stres

Orang tua yang kesulitan mengenali dan mengekspresikan emosi, kondisi yang disebut alexithymia, lebih rentan mengalami kelelahan emosional alias parental burnout


Orang tua yang kesulitan mengenali dan mengekspresikan emosi, kondisi yang disebut alexithymia, lebih rentan mengalami kelelahan emosional alias parental burnout.Foto Ilustrasi: Freepik


Ringkasan

  • Alexithymia, atau kesulitan mengenali dan mengungkapkan perasaan, berhubungan langsung dengan tingkat burnout pada orang tua.
  • Pola keterikatan emosional dengan orang tua kandung (baik ibu maupun ayah) memengaruhi tingkat kelelahan emosional saat menjadi orang tua.
  • Laki-laki menunjukkan tingkat alexithymia dan burnout yang lebih tinggi dibanding perempuan, menurut penelitian.


RISET Maria Grzegorzewska University menemukan, hubungan emosional masa kecil dengan orang tua berperan besar dalam tingkat kelelahan yang dialami, dengan pola yang sedikit berbeda antara ayah dan ibu.


Menjadi orang tua memang tidak mudah, dan kini, ilmuwan menemukan bahwa kemampuan seseorang untuk mengenali perasaannya sendiri bisa menentukan seberapa besar tekanan yang ia rasakan dalam mengasuh anak. 


Penelitian yang dipublikasikan di jurnal PLOS One ini menunjukkan hubungan erat antara alexithymia dan parental burnout, dua kondisi yang kerap tidak disadari namun berdampak besar pada kesejahteraan keluarga.


Para peneliti dari Institute of Psychology, Maria Grzegorzewska University di Polandia, meneliti 440 orang tua berusia 21–61 tahun, terdiri dari 229 perempuan dan 211 laki-laki. 


Mereka menggunakan dua alat ukur utama, yakni Parental Burnout Assessment dan Toronto Alexithymia Scale, yang mengevaluasi kemampuan seseorang dalam mengenali, menggambarkan, dan memproses emosi. 


Selain itu, keterikatan emosional terhadap orang tua mereka sendiri diukur melalui kuesioner ECR-RS (Experiences in Close Relationships–Relationship Structures).


Hasilnya cukup konsisten. Semakin sulit seseorang mengenali dan memahami emosinya, semakin tinggi risiko mereka mengalami parental burnout.


Kondisi tersebut ditandai dengan kelelahan kronis, penurunan empati terhadap anak, serta hilangnya rasa pencapaian sebagai orang tua.


Pada kelompok perempuan, ditemukan bahwa avoidant attachment (menghindari kedekatan emosional) terhadap ibu mereka berkorelasi langsung dengan tingkat burnout yang lebih tinggi. 


Sementara itu, anxious attachment (kecemasan terhadap hubungan) dengan ibu berkaitan dengan peningkatan alexithymia, yang akhirnya memicu burnout


Pola serupa juga terlihat dalam hubungan dengan ayah: semakin besar jarak emosional, semakin tinggi risiko kelelahan emosional.


Namun menariknya, perempuan dalam studi ini justru melaporkan tingkat alexithymia dan burnout yang lebih rendah dibanding laki-laki. 


Para peneliti menduga hal ini karena perempuan cenderung lebih terbiasa mengekspresikan perasaan dan mencari dukungan emosional, baik dari pasangan maupun lingkar sosialnya.


Sebaliknya, pada laki-laki, alexithymia muncul sebagai faktor kunci. Laki-laki yang cenderung sulit mengidentifikasi dan mengungkapkan emosi melaporkan tingkat burnout yang lebih tinggi secara signifikan. 


Hubungan yang kaku atau penuh kecemasan dengan ibu maupun ayah di masa lalu memperkuat efek tersebut.


Menurut para peneliti, temuan ini menyoroti pentingnya kecerdasan emosional dalam pengasuhan anak. 


Banyak orang tua yang kelelahan bukan semata karena pekerjaan atau beban rumah tangga, tetapi karena kurangnya kemampuan mengenali emosi, baik emosi mereka sendiri maupun emosi anak.


Peneliti menekankan perlunya pendekatan berbasis emosi dan keterikatan dalam program dukungan orang tua. Misalnya, pelatihan regulasi emosi atau terapi berbasis attachment bisa membantu mencegah burnout jangka panjang. 


“Setiap orang tua membawa pola hubungan dari masa lalunya. Mengenali pola itu adalah langkah pertama untuk menjadi orang tua yang lebih sehat secara emosional,” tulis tim peneliti.


Temuan ini sejalan dengan penelitian sebelumnya dari Université Catholique de Louvain (2022) yang menemukan bahwa parental burnout dapat menular secara emosional dalam keluarga.


Ketika salah satu orang tua merasa hampa dan lelah secara psikologis, pasangan dan anaknya pun bisa terdampak. 


Selain itu, riset Frontiers in Psychology (2024) menunjukkan bahwa mindfulness dan latihan kesadaran diri emosional bisa menurunkan risiko burnout hingga 30%.


Dengan kata lain, mengenali perasaan bukan hanya urusan pribadi—tapi juga fondasi bagi kesehatan emosional seluruh keluarga.


Disadur dari Medical Xpress.


Post a Comment

أحدث أقدم