Beban Mental Ibu Kaya: Saat Uang Tak Bisa Membeli Ketenangan Pikiran

Para ibu berpendapatan tinggi ternyata masih memikul beban mental terbesar dalam keluarga. 


Para ibu berpendapatan tinggi ternyata masih memikul beban mental terbesar dalam keluarga.Foto Ilustrasi: Drazen Zigic


Ringkasan 

  • Penelitian menemukan ibu berpenghasilan tinggi tetap menanggung beban mental keluarga, sama beratnya dengan ibu berpenghasilan rendah.
  • Uang dan status pekerjaan hanya mengurangi pekerjaan fisik, bukan beban pikiran.
  • Fenomena ini disebut gendered cognitive stickiness, tugas mental melekat pada ibu karena ekspektasi sosial dan sulit dibagi.


MEREKA boleh punya asisten rumah tangga, katering sehat, bahkan jadwal kerja fleksibel, tapi tetap saja, merekalah yang tahu kapan anak harus imunisasi, siapa yang butuh sepatu baru, dan kapan anjing harus divaksin. 


Uang bisa menyewa bantuan fisik, tapi tidak bisa membebaskan mereka dari “beban kognitif”, yakni kerja tak kasat mata untuk mengingat, merencanakan, dan mengatur kehidupan keluarga.


Penelitian yang dipublikasikan di jurnal Socius ini menganalisis lebih dari 2.000 orang tua di Amerika Serikat, dan menemukan bentuk ketimpangan rumah tangga yang paling keras kepala justru yang tak terlihat. 


Ibu-ibu masa kini memang berhasil menurunkan jam mencuci dan memasak, tetapi tetap terjebak dalam pekerjaan tak terlihat, memastikan rumah berjalan seperti mesin yang selalu hidup.


Peneliti menyebut fenomena ini sebagai cognitive labor, atau beban mental. 


Ia mencakup proses yang tak henti, di antaranya mengingat jadwal, merencanakan logistik anak, memantau tagihan, atau sekadar memastikan stok tisu toilet cukup. 


Berbeda dari mencuci piring yang selesai dalam 15 menit, pekerjaan mental tidak punya batas waktu atau tempat. Ia bisa muncul di tengah rapat kantor atau saat ibu mencoba tidur tapi otaknya masih sibuk memikirkan bekal anak besok pagi.


Dalam survei tersebut, ibu bertanggung jawab atas rata-rata 13,7 dari 21 jenis tugas kognitif, sedangkan ayah hanya 8,2. 


Perbedaan paling mencolok ada di bidang penjadwalan, urusan kebersihan rumah, dan pengasuhan anak. Satu-satunya area di mana ayah lebih dominan hanyalah soal keuangan dan perawatan rumah, dan itu pun dengan selisih kecil.


Menariknya, pendapatan tinggi dan pekerjaan penuh waktu tidak mengubah pola ini. 


Ibu yang berpenghasilan di atas 100 ribu dolar per tahun memang menghabiskan waktu 30% lebih sedikit untuk pekerjaan fisik rumah tangga, tetapi jumlah pekerjaan mentalnya sama dengan ibu berpenghasilan rendah. 


Bahkan, ibu yang menjadi pencari nafkah utama masih tetap memegang tanggung jawab mental terbesar.


Para peneliti memperkenalkan istilah “gendered cognitive stickiness”, yang menggambarkan betapa tugas-tugas mental ini menempel pada ibu dan sulit dialihkan. 


Pasalnya, banyak pekerjaan ini terjadi “di dalam kepala” dan tidak terlihat. 


Seorang ibu bisa mendelegasikan mengantar anak ke dokter, tetapi tetap harus membuat janji, mengingatkan jadwal, menyiapkan dokumen, dan mencocokkan waktu kerja. 


Bahkan saat ia meminta bantuan, beban koordinasi justru makin berat.


Bagi ayah, pola yang muncul berbeda. Pendapatan tinggi justru membuat mereka lebih aktif dalam aspek “prestisius” seperti memilih sekolah elite atau merencanakan kegiatan anak.


Di sisi lain, pria tak terbebani dalam urusan sehari-hari seperti menyiapkan makanan atau belanja kebutuhan rumah. Mereka ikut dalam pekerjaan mental yang tampak bergengsi, sementara beban rutin tetap di tangan ibu.


Temuan ini menjelaskan mengapa revolusi gender di rumah tangga tampak mandek. 


Perempuan sudah lama masuk dunia kerja dan berpenghasilan tinggi, tapi di rumah, mereka tetap jadi “manajer utama kehidupan keluarga.” 


Uang bisa membeli jasa membersihkan rumah, tapi tidak bisa membeli peace of mind, ketenangan dari kewajiban mengingat segalanya.


Para ahli menilai, untuk mencapai kesetaraan sejati, perlu ada pengakuan sosial bahwa pekerjaan mental juga pekerjaan nyata. Baru setelah itu pembagian tugas bisa benar-benar seimbang, bukan hanya dalam waktu, tapi juga dalam pikiran.


Disadur dari StudyFinds


Post a Comment

أحدث أقدم