Sebuah studi baru mengungkap kenyataan hidup pengidap hipersomnia idiopatik (IH), gangguan tidur kronis langka yang membuat seseorang terus merasa mengantuk meskipun sudah tidur cukup.
Ringkasan
- IH membuat penderitanya terus mengantuk meskipun tidur lama dan berkualitas.
- Studi dari jurnal PLOS One menganalisis 346 unggahan pasien dari berbagai negara selama 10 tahun.
- Hasilnya mengungkap dampak fisik dan emosional besar, termasuk depresi, kelelahan ekstrem, dan perilaku otomatis tanpa sadar.
BAYANGKAN bangun pagi setelah tidur delapan jam, tapi tubuh terasa seperti belum pernah beristirahat. Dunia terasa seperti di bawah air, kabur dan lambat.
Begitulah hidup sehari-hari bagi mereka yang mengidap idiopathic hypersomnia (IH), gangguan tidur langka yang masih misterius bahkan bagi para ahli saraf.
Dalam studi terbaru yang dipublikasikan di jurnal PLOS One (2025), peneliti menganalisis 346 unggahan publik di internet dari 123 individu yang hidup dengan IH antara tahun 2012 hingga 2022.
Tujuannya sederhana, mendengar langsung dari para pasien, bukan sekadar grafik atau hasil tes laboratorium.
Dari ribuan kata dan curhatan yang terkumpul, muncul gambaran yang sama, yaitu kelelahan yang tidak berujung.
Pasien menggambarkan tidur mereka sebagai “tidur tanpa manfaat”, tidak ada rasa segar, tidak ada energi, hanya kabut mental yang menebal.
Banyak juga yang melaporkan perilaku otomatis, seperti berjalan, makan, atau bekerja tanpa benar-benar sadar, dan baru “bangun” beberapa saat kemudian tanpa ingatan akan apa yang mereka lakukan.
Selain gejala fisik, dampak emosionalnya juga mendalam. Banyak pasien kehilangan pekerjaan, kesulitan bersekolah, dan hubungan pribadi mereka terganggu.
Salah satu kutipan dalam studi ini terdengar mengguncang:
“Butuh terapis yang sangat baik dan tekad besar agar saya mau terus hidup dengan IH. Saya tidak mengatakannya dengan enteng.”
Gangguan ini tidak sama dengan narcolepsy (penyakit tidur mendadak). Pada IH, tidur panjang tidak menyembuhkan rasa kantuk. Otak seolah tidak mampu “menyalakan mode siaga,” membuat pasien terus merasa terjebak antara tidur dan sadar.
Dr. Yves Dauvilliers dari University of Montpellier menjelaskan bahwa IH disebabkan oleh kelainan pada sistem pengatur tidur otak, terutama yang berhubungan dengan neurotransmitter GABA.
GABA adalah senyawa kimia yang menenangkan aktivitas saraf.
Beberapa pasien merespons obat stimulan seperti modafinil, tapi banyak yang tidak merasakan perbaikan berarti. “Masih ada banyak yang belum kita pahami tentang IH,” ujarnya dalam Sleep Medicine Reviews (2023).
Karena itu, studi berbasis suara pasien seperti ini penting. Selain membantu dokter mengenali gejala lebih cepat, juga mendorong pengembangan obat yang berfokus pada kebutuhan nyata pasien, bukan sekadar hasil laboratorium.
Bagi dunia medis, IH mungkin hanya satu dari sekian banyak gangguan langka.
Tapi bagi pengidapnya, ini adalah kenyataan hidup yang membuat waktu terasa beku—karena bahkan saat bangun, mereka masih berjuang melawan rasa tidur yang tak pernah tuntas.
Disadur dari Medical Xpress.

إرسال تعليق