'Alpha Male' Itu hanya Mitos, Berasal dari Riset Keliru

 Meski sains sudah lama membantahnya, mitos ini masih sering dipakai untuk membenarkan perilaku kasar, egois, atau maskulinitas toksik.


Meski sains sudah lama membantahnya, mitos ini masih sering dipakai untuk membenarkan perilaku kasar, egois, atau maskulinitas toksik.Ilustrasi dibuat oleh AI.


Ringkasan

  • Konsep "alpha male" berasal dari riset serigala yang keliru dan tidak relevan untuk manusia.
  • Studi primata menunjukkan bahwa dominasi jantan bukanlah norma umum di dunia hewan.
  • Sains modern mendorong kita untuk meninggalkan stereotip dominasi dan memahami dinamika sosial yang lebih kompleks.


MITOS “alpha male” awalnya muncul dari pengamatan Rudolph Schenkel terhadap serigala di penangkaran pada 1930-an. Ia mengamati struktur kelompok yang tampak hierarkis, lalu menyebut pasangan dominan sebagai “alpha”. 


Nyatanya, menurut Dr. Katie Spalding dalam tulisannya yang tayang di IFL Science, data ini berasal dari serigala yang tidak saling terkait dan hidup dalam kondisi buatan—jauh dari perilaku alami mereka di alam liar.


Di tahun 1970, David Mech, peneliti serigala terkenal, ikut mempopulerkan istilah “alpha” lewat bukunya. Namun, beberapa dekade kemudian, Mech sendiri mengakui bahwa anggapannya keliru. 


Saat teknologi memungkinkan pengamatan serigala di habitat aslinya, ia menemukan fakta penting, kawanan serigala sejatinya adalah keluarga—dan “si alpha” hanyalah induk jantan atau betina dari anak-anaknya. 


Itu sama seperti ayah dan ibu di rumah.


Sayangnya, istilah ini keburu meledak. Ia diserap ke budaya populer dan dijadikan pembenaran bagi perilaku dominan, agresif, dan kadang misoginis. 


Padahal, dalam konteks manusia maupun hewan, pendekatan itu sangat menyederhanakan kenyataan sosial yang jauh lebih kompleks.


Dalam dunia primata pun, dominasi jantan bukanlah norma. Studi baru dari German Primate Center mengamati 151 populasi primata, dan hanya 25 di antaranya menunjukkan struktur sosial dengan jantan dominan. 


Justru mayoritas spesies menunjukkan distribusi kekuasaan yang seimbang atau tak berpihak ke jenis kelamin tertentu. 


Bonobo, misalnya, punya masyarakat yang dipimpin betina. Bahkan, lemur ekor cincin juga menampilkan dominasi betina.


Jadi, jika kita ingin belajar dari hewan tentang cara bersosialisasi, justru penting melihat kompleksitas relasi mereka, bukan hanya siapa yang paling kuat. 


“Argumen bahwa patriarki manusia adalah warisan primata sangat menyesatkan,” ungkap studi tersebut.


Lucunya, jika kita mencari hewan dengan struktur sosial paling “alpha”, pilihannya bukan serigala atau gorila—melainkan ayam domestik. Ya, ayam. 


Spesies dengan sistem hirarki yang dikenal sebagai pecking order, tempat istilah “alpha” pertama kali digunakan.


Daripada terus ngotot jadi “alpha”, mungkin saatnya kita sadar bahwa kerjasama, fleksibilitas, dan relasi sosial yang sehat jauh lebih penting—dan jauh lebih manusiawi.


Disadur dari IFL Science - The Rise And Fall (And Lamentable Rise) Of The "Alpha Male" Myth .


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama