Tumbuhan ternyata punya cara cerdas mengenali panas saat siang hari.
Ringkasan
- Tumbuhan tidak hanya mengandalkan protein, tapi juga gula untuk mendeteksi panas di siang hari.
- Gula dari fotosintesis bisa bertindak sebagai sinyal suhu, bukan cuma sebagai sumber energi.
- Temuan ini berpotensi membantu rekayasa tanaman yang lebih tahan perubahan iklim.
KALAU kamu pikir tumbuhan itu pasif dan cuma “ikut alam,” pikir lagi.
Sebuah penelitian yang diterbitkan di jurnal Nature Communications ini mengungkap cara tumbuhan membaca suhu siang hari dengan mekanisme yang lebih rumit dari yang kita bayangkan.
Selama ini, buku pelajaran biologi menyebut protein seperti phytochrome B dan ELF3 sebagai sensor utama suhu. Tapi itu didasarkan pada kondisi malam, bukan siang.
Nah, Prof. Meng Chen dari University of California, Riverside dan timnya ingin tahu, bagaimana cara tumbuhan menyikapi suhu saat siang hari, saat cahaya dan panas sama-sama tinggi, seperti kondisi yang paling umum dialami tumbuhan di alam.
Mereka pun bereksperimen dengan Arabidopsis, si tanaman mungil yang sering jadi bintang di laboratorium genetika.
Para peneliti memaparkan bibit tanaman ini ke berbagai suhu (12–27°C) dan kondisi cahaya berbeda. Mereka mengamati bagian batang muda (hipokotil) yang memanjang sebagai respons terhadap suhu hangat.
Hasilnya mengejutkan, protein phytochrome B ternyata cuma bisa “merasakan” panas kalau cahayanya rendah. Di siang terang, fungsinya sebagai sensor suhu malah tidak aktif.
Tapi, tumbuhan tetap tumbuh tinggi — meskipun phytochrome B “off”. Ini menunjukkan, pasti ada sensor lain yang bekerja.
Petunjuk makin jelas saat mereka mengamati mutan phytochrome B yang kehilangan fungsi termonya. Mutan ini tetap bisa merespons suhu hangat, tapi hanya jika ada cahaya.
Tanpa cahaya (dan tanpa fotosintesis), tanaman itu tak bisa tumbuh lebih tinggi. Tapi saat para peneliti menambahkan gula ke media tanam — boom! Respons terhadap suhu hangat muncul kembali.
Di sinilah titik terang datang, gula bukan cuma bahan bakar, tapi juga sinyal bahwa suhu sedang hangat.
Gula ini, terutama sukrosa hasil dari pemecahan pati di daun, ternyata membantu menstabilkan protein PIF4 — semacam "jenderal" yang mengatur pertumbuhan.
Tanpa gula, PIF4 cepat hancur. Dengan gula, ia bisa bertahan. Tapi dia hanya aktif jika sensor lain (ELF3) juga merespons panas dan “memberi izin.”
Jadi, untuk merespons panas, PIF4 butuh dua hal: keberadaan gula dan dibebaskan dari pengekangan protein lain. Keduanya dipicu oleh naiknya suhu.
Artinya, tumbuhan menyusun sistem canggih. Siang hari mereka memanen cahaya jadi gula, dan gula ini bukan cuma bahan makanan — tapi juga bahasa untuk membaca lingkungan.
Di tengah perubahan iklim global, penemuan ini sangat relevan. Kalau kita tahu bagaimana dan kapan tumbuhan mendeteksi panas, kita bisa bantu merancang tanaman pangan yang lebih tahan banting terhadap cuaca ekstrem.
Seperti yang diungkap Prof. Chen, “Tumbuhan tidak sekadar nyala-mati lewat protein. Mereka menggunakan cahaya, energi, dan gula untuk merespons dunia. Ada kecerdasan tersembunyi dalam setiap daun.”
Disadur dari artikel di Sci.News berjudul Biologists Uncover How Plants Sense Heat during Day
Posting Komentar