Kecantikan kini tak cuma soal krim wajah atau bentuk alis, tapi juga tentang bagaimana otak kita memproses dan merasakan citra diri.
Ringkasan
- Neurokosmetik menggunakan produk topikal yang bekerja pada sistem saraf kulit untuk memengaruhi emosi dan kesehatan mental.
- Teknologi seperti smart mirror dan aplikasi wajah berbasis AI kini ikut memandu perawatan diri berbasis suasana hati dan stres.
- Konsep kecantikan bergeser dari penampilan luar semata ke keseimbangan antara fisik dan emosi, antara luar dan dalam.
DI ERA ketika skincare bisa berinteraksi dengan sistem saraf dan aplikasi wajah bisa menilai suasana hati, kecantikan bukan lagi perkara kulit semata.
Ilmu terbaru dari persimpangan dermatologi, neuropsikologi, dan teknologi ini memperkenalkan konsep “neurokosmetik”, pendekatan holistik yang menyentuh bukan hanya kulit, tapi juga pikiran dan persepsi diri.
Kulit, ternyata, bukan sekadar pelindung pasif. Ia adalah organ sensorik kompleks, penuh jaringan saraf, aktif secara imunologis, dan sangat terhubung dengan sistem saraf pusat.
Dengan kata lain, apa yang kita rasakan di kulit bisa memengaruhi pikiran — dan sebaliknya.
Dalam studi yang dipublikasikan di Clinics in Dermatology, neurokosmetik didefinisikan sebagai agen topikal yang tidak hanya memperbaiki kondisi kulit secara fisik, tetapi juga menyeimbangkan respon emosional dan psikologis.
Lewat sistem komunikasi dua arah antara kulit dan otak, dikenal sebagai skin-brain axis, neurokosmetik dapat membantu meredakan stres, memperbaiki mood, hingga memperkuat ketahanan mental.
Yang membuatnya makin futuristik, neurokosmetik kini juga digabungkan dengan kecerdasan buatan.
Cermin pintar dan aplikasi wajah yang bisa membaca tingkat stres, kualitas tidur, atau mood pengguna mulai dikembangkan. Bayangkan skincare harian yang disesuaikan dengan emosimu pagi ini, bukan cuma jenis kulitmu.
Samantha Almas, CEO dari perusahaan nutraceutical IGNITE FUEL, menyebut bahwa perubahan besar terjadi ketika kesehatan otak mulai dianggap penting dalam perawatan kecantikan.
“Ilmu hari ini menunjukkan bahwa mendukung kesehatan otak dapat berdampak nyata pada bagaimana kita terlihat dan merasa,” ujarnya kepada *The Debrief*.
Namun, keindahan sejati bukan hanya soal teknologi canggih. Ia juga tentang perjalanan ke dalam diri.
Terapi psikedelik mulai menunjukkan hasil dalam membentuk ulang persepsi diri dengan mengatasi trauma masa lalu, memperkuat neuroplastisitas otak, dan membongkar kepercayaan negatif tentang diri yang sudah tertanam sejak kecil.
Di sisi lain, perubahan fisik tetap jadi bagian dari pencarian jati diri. Di Klinik PADRA di Toronto, permintaan transplantasi rambut dan alis terus meningkat.
Menurut CEO-nya, Kash Fakhraei, klien mereka bukan sekadar mengejar standar kecantikan, tetapi ingin mendapatkan kembali rasa otentisitas dan kepercayaan diri.
“Kami sering melihat orang datang dengan rasa minder, lalu kembali beberapa bulan kemudian dengan percaya diri yang baru,” ujarnya.
Fenomena ini menandai perubahan, orang tak lagi sekadar ingin cantik, tapi ingin nyaman dengan dirinya sendiri, baik secara fisik maupun emosional.
Dalam dunia yang makin sadar akan hubungan pikiran dan tubuh, neurokosmetik menawarkan jalan baru: keindahan yang tumbuh dari dalam dan terlihat dari luar.
Disadur dari artikel berjudul Beauty at the Brain-Skin Boundary yang terbit di The Debrief
Posting Komentar