Charles Darwin Bisa Jadi Salah Soal Tangisan Emosional 'Tanpa Tujuan'

Air mata bukan monopoli manusia, tapi hanya kita yang menangis terkait dengan emosi. Lantas, benarkah menangis hanyalah kesia-siaan?


Air mata bukan monopoli manusia, tapi hanya kita yang menangis terkait dengan emosi. Lantas, benarkah menangis hanyalah kesia-siaan?
(Foto Ilustrasi: Freepik)


ngarahNyaho - Menangis adalah salah satu hal paling manusiawi yang kita lakukan. Kita menangis saat patah hati, gembira, atau terharu. 


Terkadang, air mata keluar saat kita tidak menduganya — seperti saat lagu favorit mengingatkan kita pada teman lama atau adegan film nostalgia membangkitkan kenangan masa kecil. 


Namun, terlepas dari seberapa universalnya hal itu, sains di balik tangisan tetap menjadi semacam teka-teki.


Banyak spesies menghasilkan air mata untuk melindungi dan melumasi mata mereka, tetapi tidak ada yang menangis karena perasaan sedih, frustrasi, atau kagum. 


Mengapa manusia meneteskan air mata emosional? Selama bertahun-tahun, para ilmuwan telah mengungkap sebagian misteri ini, tetapi sebagian besarnya masih tersembunyi dalam lipatan biologi dan evolusi kita.


Menangis telah lama memikat keingintahuan manusia. 


Orang Yunani percaya bahwa pikiran memicu air mata, sementara para ahli teori abad ke-17 membayangkan emosi memanaskan jantung untuk menghasilkan uap yang mengembun di dekat mata.


Baru pada tahun 1662 ilmuwan Denmark Niels Stensen melacak air mata ke kelenjar lakrimal. Namun, bahkan dengan terobosan anatomi ini, tujuan air mata tetap tidak jelas. 


Charles Darwin terkenal menyebut air mata emosional "tidak bertujuan", menganggapnya tidak lebih dari sekadar keanehan evolusi. Berabad-abad kemudian, para ilmuwan masih memperdebatkan kesimpulan Darwin.


Setiap air mata memiliki tujuan. Sebagian besar waktu, mata kita melepaskan air mata basal, aliran konstan dan tak terlihat yang menjaga bola mata kita tetap lembap dan berfungsi. 


Lalu ada air mata refleks, yang membanjiri mata kita saat kita memotong bawang atau mata tertusuk. Air mata ini berasal dari kelenjar di dekat alis kita dan mengeluarkan zat-zat yang mengiritasi.


Namun, air mata emosional berbeda. Manusia sendiri memproduksinya saat mereka bergerak atau tertekan. 


Secara struktural, air mata ini tidak jauh berbeda dari air mata refleksif dan basal. Sebagian besar terdiri dari air, minyak, lendir, protein antibakteri, dan elektrolit. Namun, pemicunya berasal dari tempat lain, bagian otak yang terkait dengan perasaan terdalam kita.


Saat kita menangis, bagian otak lainnya mengaktifkan sel-sel di batang otak yang bertanggung jawab untuk produksi air mata. Hubungan ini mengisyaratkan betapa terjalinnya air mata emosional kita dengan otak manusia. T


idak seperti air mata refleks, yang muncul setelah iritasi yang jelas seperti debu, air mata emosional sering kali muncul dari badai perasaan — kesedihan, kegembiraan, atau bahkan frustrasi.


Sepanjang masa


Menangis dimulai lebih awal, tetapi tidak seperti yang Anda duga. Selama berminggu-minggu setelah lahir, bayi menangis dengan keras tetapi tidak meneteskan air mata. 


Gambaran ikonik bayi baru lahir yang menangis dengan mata berair baru muncul kemudian, saat kelenjar air matanya matang. Para ilmuwan percaya, evolusi ini adalah tentang bertahan hidup. Bayi yang menangis memastikan perhatian orang tuanya.


Lalu, mengapa manusia mulai meneteskan air mata cair selama tekanan emosional, tidak seperti hewan lain? 


Satu teori menyatakan bahwa mengerutkan wajah untuk menangis dapat secara fisik merangsang kelenjar air mata. Penjelasan lain menyatakan bahwa air mata menawarkan cara yang lebih tenang untuk berkomunikasi. 


Sementara tangisan bayi dapat bergema di seluruh rumah, air mata memungkinkan orang dewasa memberi sinyal kesusahan secara lebih halus, tanpa membuat predator waspada.


Seiring bertambahnya usia, alasan kita menangis pun berubah. Rasa sakit fisik dapat memicu air mata saat kita masih muda, tetapi seiring bertambahnya usia, hubungan emosional menjadi pusat perhatian. 


Terkadang, menangis dapat bertindak seperti perekat sosial. Baik itu kerinduan, patah hati, atau kesedihan, air mata ini mengikat kita dengan orang lain.


"Air mata memberi sinyal kepada diri sendiri dan orang lain bahwa ada beberapa masalah penting yang setidaknya untuk sementara berada di luar kemampuan Anda untuk mengatasinya," jelas Jonathan Rottenberg, psikolog di University of South Florida.


Alasan kita menangis — dan seberapa sering — sangat bervariasi. Salah satu prediktor terkuat adalah jenis kelamin. 


Secara global, wanita menangis sekitar dua hingga tiga kali lebih sering daripada pria. Kesenjangan ini dimulai pada masa remaja, dibentuk oleh ekspektasi sosial dan mungkin hormon. 


Sementara testosteron dapat menekan tangisan, norma-norma sosial juga mengajarkan anak laki-laki untuk "bersikap tangguh."


Empati dan kepribadian juga berperan. Orang yang sangat berempati atau lebih neurotik cenderung lebih mudah menangis, begitu pula mereka yang kurang tidur atau pernah minum alkohol.


Meskipun ada stereotip, menangis memiliki manfaat. Banyak orang merasa lega setelah meneteskan air mata, terutama saat menangis dapat memberikan dukungan.


Reaksi sosial juga dapat memberikan dampak. Menangis dapat menjadi sinyal bagi orang lain saat bantuan dibutuhkan. Respons yang mendukung — seperti pelukan atau kata-kata yang baik — dapat memperkuat katarsis air mata.


Darwin mungkin menganggap menangis tidak memiliki tujuan, tetapi saat peneliti menyelidiki lebih dalam, mereka menemukan betapa pentingnya air mata bagi pengalaman manusia. |


Sumber: ZME Magazine


Post a Comment

أحدث أقدم