Otak manusia sudah memutuskan apakah suatu makanan sehat, enak, atau berkalori tinggi lebih cepat dari kedipan mata!
Ringkasan
- Otak menilai “sehat” atau “enak” dalam waktu kurang dari seperlima detik.
- Penilaian dilakukan secara bersamaan, bukan berurutan.
- Cepatnya proses bukan berarti kita otomatis memilih yang sehat—pilihan tetap tergantung kebiasaan dan konteks sosial.
STUDI yang dimuat dalam jurnal Appetite ini menunjukkan bahwa otak tidak menilai satu per satu, melainkan memproses semua informasi itu secara paralel dan sangat cepat.
Penelitian yang dipimpin oleh Violet Chae dari Melbourne School of Psychological Sciences ini menggunakan EEG (electroencephalography), alat yang bisa merekam aktivitas listrik otak dalam hitungan milidetik.
Seratus sepuluh partisipan memakai topi dengan 64 elektroda sambil menatap gambar makanan di layar—mulai dari buah segar, pizza, hingga camilan tak sehat.
Setiap gambar ditampilkan selama dua detik, lalu peserta diminta menjawab pertanyaan sederhana seperti “Sehat?”, “Enak?”, atau “Ingin makan?”.
Dalam waktu kurang dari seperlima detik setelah melihat makanan, sinyal otak sudah menunjukkan bahwa informasi tentang kesehatan, kalori, dan seberapa diprosesnya makanan telah muncul.
Puncaknya terjadi sekitar 200–227 milidetik setelah pandangan pertama.
Atribut “keinginan untuk makan” atau tastiness justru muncul lebih lambat—yakni setelah 600 milidetik—yang menunjukkan bahwa persepsi rasa mungkin datang setelah kesadaran awal tentang nilai gizi.
Para peneliti juga mengamati dua dimensi besar yang memengaruhi penilaian makanan:
- Seberapa menggoda (appetizing): melibatkan rasa, keakraban, dan emosi positif.
- Seberapa diproses (processed): mencakup kalori tinggi, makanan olahan, dan persepsi tidak sehat.
Menariknya, kedua dimensi ini aktif hampir bersamaan di otak. Ini berarti otak manusia bukan menunggu untuk menilai rasa dulu baru memikirkan kesehatan; melainkan melakukan keduanya serentak.
“Temuan ini menantang asumsi lama bahwa otak selalu memprioritaskan kenikmatan instan dibanding pertimbangan kesehatan,” kata Chae dalam siaran persnya.
“Informasi tentang kesehatan sudah tersedia sejak awal, tapi masalahnya adalah apakah kita mau memperhatikannya atau tidak.”
Penelitian ini juga memberi petunjuk baru soal cara kerja pengendalian diri. Saat seseorang mencoba makan lebih sehat, proses “timbangan” antara rasa dan kesehatan terjadi di tahap otak yang lebih lambat—yakni setelah 400–600 milidetik—ketika keputusan akhir diambil.
Di sinilah kebiasaan, niat, dan konteks sosial berperan: otak tahu donat itu tidak sehat, tapi sinyal kenikmatan bisa tetap menang.
Meski studi ini menggunakan gambar makanan (bukan makanan sungguhan), hasilnya membuka wawasan tentang betapa efisien dan kompleksnya radar makanan otak manusia.
Dengan pemahaman ini, para ilmuwan berharap bisa mengembangkan strategi baru untuk membantu orang membuat keputusan makan yang lebih baik.
Salah satu contohnya lewat desain kemasan atau kampanye visual yang memicu reaksi cepat terhadap aspek kesehatan.
Disadur dari StudyFinds.

إرسال تعليق