Ada perubahan otak terkait penggunaan smartphone, tapi “membusuk” jelas bukan istilah ilmiah yang tepat.
Ringkasan
- Penelitian MRI menemukan kaitan antara penggunaan smartphone berlebihan dengan berkurangnya volume materi abu-abu di otak.
- Istilah “brain rot” populer, tapi para ilmuwan menganggapnya terlalu menyederhanakan masalah dan bisa menimbulkan stigma.
- Efek smartphone pada otak masih diperdebatkan; sebagian riset menunjukkan perubahan otak, sebagian lain menyebut hasilnya belum konsisten.
ISTILAH “brain rot” alias otak membusuk jadi populer di media sosial dan bahkan dinobatkan sebagai Oxford Word of the Year 2024. Banyak yang mengaitkannya dengan kebiasaan scroll berlebihan di smartphone.
Awal isu ini meledak ketika influencer kesehatan Brendan Ruh mengunggah klaim bahwa dua jam scroll tanpa tujuan bisa “menyusutkan otak.”
Ia mengutip studi 2020 di jurnal Addictive Behaviors yang memang menemukan kaitan antara adiksi smartphone dengan berkurangnya materi abu-abu, jaringan penting untuk memori, emosi, dan pengendalian gerak.
Postingan itu viral dengan lebih dari 340 ribu likes, memicu diskusi luas.
Fenomena ini sejalan dengan kekhawatiran global soal kesehatan mental, terutama sejak pandemi Covid-19. WHO mencatat lonjakan kecemasan dan depresi sebesar 25% pada tahun pertama pandemi.
Banyak yang menuding smartphone dan media sosial sebagai kambing hitam. Tapi, para ilmuwan mengingatkan agar tidak buru-buru menyimpulkan.
Ben Becker, ahli saraf dari University of Hong Kong, menegaskan bahwa istilah “brain rot” bisa menyesatkan. Ia khawatir penggunaan istilah itu malah membuat perilaku sehari-hari dipandang patologis.
“Scroll” atau menggulir layar HP mungkin berdampak pada otak, tapi tidak berarti otak benar-benar rusak seperti apel busuk.
Riset memang menunjukkan beberapa pola menarik. Studi MRI pada 2020 oleh Robert Christian Wolf dan tim di Heidelberg University, misalnya.
Mereka menemukan pengguna smartphone dengan tanda adiktif memiliki volume materi abu-abu lebih rendah di insula anterior kiri dan bagian otak lain yang terkait empati, memori, dan pengendalian diri.
Namun, penelitian ini hanya bersifat cross-sectional (potret sesaat), bukan bukti sebab-akibat. Selain itu, jumlah partisipan masih terbatas (48 orang).
Christian Montag dari University of Macau menambahkan, ada lebih dari 5 miliar orang menggunakan smartphone tiap hari sejak iPhone diperkenalkan pada 2007.
Artinya, kita memang perlu memahami dampak jangka panjangnya. Tapi riset masih di tahap awal, belum ada kesimpulan bulat apakah smartphone benar-benar bisa mengubah otak secara permanen.
Tayana Panova, psikolog dari Ramon Llull University, bahkan menilai istilah “adiksi smartphone” belum tepat.
Menurutnya, banyak orang menyebut dirinya “kecanduan” hanya karena sering menggunakan ponsel, sama seperti kita bilang “terobsesi” dengan sesuatu. Tapi itu tidak otomatis memenuhi kriteria adiksi klinis seperti pada narkoba.
Hal menarik lain datang dari konsep neuroplastisitas: otak kita memang bisa berubah struktur dan fungsinya karena pengalaman, lingkungan, atau kebiasaan.
Menurut Parisa Gazerani dari Oslo Metropolitan University, perubahan otak akibat smartphone tidak selalu buruk. Misalnya, penggunaan digital untuk belajar, berkreasi, atau bersosialisasi bisa memberi dampak positif.
Yang mungkin bermasalah adalah penggunaan pasif yang menggantikan aktivitas bermakna lain.
Jadi, apakah smartphone bikin otak “membusuk”? Jawabannya, tidak sesederhana itu.
Menggulir layar HP berlebihan memang bisa mengubah pola otak dan perilaku, tapi kita butuh riset jangka panjang untuk benar-benar tahu dampaknya.
Sementara itu, solusi paling sehat mungkin bukan panik, melainkan lebih sadar dalam menggunakan ponsel, misalnya dengan memanfaatkan laporan screentime otomatis, membatasi waktu scroll tanpa tujuan, dan menyeimbangkan dengan aktivitas nyata.
Disadur dari Smithsonian Magazine.

إرسال تعليق