Anak-anak yang sudah memiliki ponsel sejak usia dini lebih rentan mengalami pikiran untuk bundir, agresi, dan ketidakstabilan emosi saat memasuki usia 18–24 tahun.
Ringkasan
- Anak yang punya smartphone sebelum usia 13 tahun lebih rentan mengalami gangguan mental serius saat dewasa.
- Masalah ini dipicu oleh akses dini ke media sosial, gangguan tidur, dan lemahnya hubungan keluarga.
- Para peneliti menyarankan kebijakan publik dan edukasi digital ketat sebelum anak bisa mengakses media sosial.
DALAM dunia di mana bayi pun bisa menggulir layar sebelum bisa bicara, hasil studi dari Sapien Labs Global Mind Project memunculkan kekhawatiran besar.
Kian cepat anak punya smartphone, makin besar kemungkinan mereka mengalami gangguan mental di masa depan. Studi ini melibatkan lebih dari 100.000 anak muda dari 40 negara.
Mereka yang mendapatkan ponsel sebelum usia 13 tahun menunjukkan skor Mind Health Quotient (MHQ) yang jauh lebih rendah. MHQ adalah alat ukur yang menilai kesehatan mental dari -100 sampai +200.
Skor di bawah 0 menandakan gangguan serius. Anak yang pertama kali mendapat ponsel saat usia lima tahun, rata-rata punya skor nyaris nol saat dewasa, pertanda masalah mental berat.
Dampak ini terasa lintas budaya dan wilayah. Hampir setengah perempuan yang memiliki smartphone sejak usia lima atau enam tahun melaporkan pernah punya pikiran bunuh diri.
Anak laki-laki mengalami penurunan empati dan stabilitas emosi. Gangguan lain yang muncul termasuk halusinasi, perasaan terlepas dari kenyataan, serta agresivitas yang meningkat.
Studi ini juga mengungkap bahwa sekitar 40% dampak buruk berasal dari akses dini ke media sosial.
Walaupun platform seperti Instagram dan TikTok mengklaim punya batasan usia minimal 13 tahun, aturan ini mudah dilewati. Anak cukup mengetikkan tahun lahir palsu, dan mereka bisa langsung akses semua konten, termasuk yang meresahkan.
Lebih parah lagi, konten dalam platform ini digerakkan algoritma AI yang dirancang untuk membuat pengguna betah. Ini termasuk paparan konten kekerasan, perbandingan sosial, hingga perilaku adiktif.
Semua ini terjadi saat otak anak masih berkembang dan belajar mengenali emosi dan identitas diri.
Tragedi bundir Mallory Grossman (12 tahun, AS) dan Molly Russell (14 tahun, Inggris) menjadi bukti nyata betapa berbahayanya dunia digital bagi anak-anak.
Mallory menjadi korban perundungan di Snapchat dan Instagram. Molly mengakses ribuan konten soal bundir dan depresi sebelum akhirnya mengakhiri hidup.
Kedua kasus ini mengguncang publik dan memicu desakan kebijakan perlindungan anak yang lebih ketat secara digital.
Di Australia, anak usia 12–13 tahun kini menyumbang 35% dari laporan cyberbullying. Banyak di antaranya melibatkan ancaman bunuh diri dan dorongan menyakiti diri yang beredar di grup obrolan tak terkontrol.
Paparan dini terhadap smartphone juga mengganggu tidur (menyumbang 12% dari gangguan mental yang ditemukan), merusak hubungan keluarga (13%), dan membuka risiko cyberbullying (10%).
Kombinasi ini membentuk “lingkaran setan” yang membekas hingga dewasa.
Apa Solusinya?
Para peneliti tidak langsung menyarankan pelarangan total, tapi mendorong kebijakan komprehensif, seperti:
- Pendidikan literasi digital dan kesehatan mental sebelum anak boleh akses media sosial.
- Penegakan ketat batas usia platform dan sanksi nyata bagi perusahaan teknologi yang melanggar.
- Ponsel versi anak-anak, tanpa akses ke platform berbasis AI.
- Regulasi publik layaknya rokok dan alkohol: berbasis usia dan potensi risiko.
Mereka juga mengingatkan bahwa beban solusi jangan hanya ditaruh di pundak orang tua. Anak yang tidak diberi akses tetap bisa terpapar dampak tak langsung dari teman sekelas atau lingkungan sosialnya.
Meski belum ada bukti kausal mutlak, pola data yang konsisten cukup kuat untuk meminta tindakan pencegahan segera.
“Menunggu bukti sempurna bisa jadi justru membuat kita kehilangan momen krusial untuk mencegah kerusakan mental generasi mendatang,” ujar Dr. Tara Thiagarajan.
Disadur dari ZME Science - How Handing Smartphones to Kids Before They Turn 13 May Damage Their Mental Health for Life.
Posting Komentar