Efek Negatif Lagu 'Traumatis' Berlangsung Lama, Ilmuwan Beri Solusinya

 Punya lagu yang bikin dada sesak karena kenangan pahit di masa lalu? Ilmuwan menyarankan untuk 'tidak lari, melainkan mencoba “merehabilitasi” lagu tersebut. 


Punya lagu yang bikin dada sesak karena kenangan pahit di masa lalu? Ilmuwan menyarankan untuk 'tidak lari, melainkan mencoba “merehabilitasi” lagu tersebut.Ilustrasi dibuat oleh AI.


Ringkasan 

  • Musik yang pernah mengiringi momen traumatis bisa memicu emosi negatif bertahun-tahun kemudian.
  • Para ilmuwan menyarankan untuk membentuk ulang asosiasi emosi dengan lagu itu melalui pengalaman baru yang menyenangkan.
  • Aktif terlibat dengan lagu, seperti menyanyi atau mengaransemen ulang, juga bisa membantu mengubah makna emosional lagu tersebut.


BAGI Bonnie, pembukaan lagu Bitter Sweet Symphony dari The Verve bukan sekadar musik nostalgia. Lagu itu membawanya kembali ke tahun 1997 yang traumatis baginya.


Saat Itu, ia menyaksikan rumah keluarganya diambil alih dan digembok oleh aparat. Kala itu lagu ini begitu populer, diputar di mana-mana, dari radio mobil hingga toko makanan cepat saji. 


Kini, di usia 46 tahun, Bonnie masih menghindari lagu itu karena terlalu menyakitkan.


Fenomena seperti ini bukan hal langka. Banyak orang punya lagu tertentu yang tak ingin mereka dengar, karena terlalu erat dengan kenangan buruk—baik karena peristiwa traumatis, maupun kenangan manis yang berubah pahit. 


Seperti Matt, seorang insinyur di Inggris, yang kini menghindari seluruh lagu Neil Diamond setelah tahu mantan pasangannya pernah berselingkuh dengan "teman dekat" yang ternyata lebih dari sekadar teman.


Kini, setiap lagu Diamond memicu rasa kecewa dan pengkhianatan.


Menurut Ilja Salakka, peneliti dari University of Helsinki, hal ini terjadi karena emosi berperan penting dalam pembentukan memori jangka panjang. 


Musik yang kuat secara emosional akan memperkuat kenangan yang mengiringinya. 


Bahkan, menurut Dr. Stephanie Leal dari UC Berkeley, sering kali sulit membedakan apakah musik yang memicu emosi, atau justru emosi dari peristiwa yang memperkuat kesan musik itu.


Studi yang dilakukan Leal menunjukkan bahwa ketika seseorang mengalami respons emosional sedang terhadap musik, mereka lebih mampu mengingat detail kejadian. 


Sebaliknya, musik yang memicu emosi ekstrem malah membuat kita hanya mengingat inti cerita dari pengalaman itu, tanpa detailnya.


Sebagian besar kenangan musik berasal dari masa remaja atau awal dewasa—fase kehidupan yang penuh emosi dan pencarian identitas. 


Biasanya kenangan ini bersifat positif. Tapi jika yang terasosiasi negatif, musik itu bisa jadi semacam trigger. Namun kabar baiknya, asosiasi ini bisa diubah. 


Menurut Leal dan Prof. Renee Timmers dari University of Sheffield, mendengarkan lagu menyakitkan dalam konteks yang baru dan bahagia bisa menciptakan ulang jaringan asosiasi otak kita. 


Misalnya, mendengarkannya saat bersama orang tersayang, saat liburan menyenangkan, atau dalam suasana sosial yang hangat.


Lebih jauh lagi, Timmers menyarankan agar kita tidak menjadi korban pasif dari musik, tapi justru aktif terlibat dengannya. 


Menyanyikan lagu itu, mengaransemen ulang, bahkan hanya bersenandung bisa membantu kita mengambil kembali “kepemilikan emosional” terhadap lagu itu.


Jadi, daripada terus-terusan memencet tombol skip, mungkin inilah saatnya berdamai dengan lagu menyakitkan. Siapa tahu, justru dari nada-nada itu kita bisa menemukan kekuatan baru.


Disadur dari The Guardian


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama