Daripada Dilupakan dan Dianggap Tak Ada, Lebih Baik Digosipin Biarpun Jelek

Meski banyak dari kita mengaku benci jadi bahan gosip, studi terbaru menunjukkan bahwa sebagian orang ternyata lebih rela digosipin jelek ketimbang dilupakan atau tak dianggap ada sama sekali. 


Meski banyak dari kita mengaku benci jadi bahan gosip, studi terbaru menunjukkan bahwa sebagian orang ternyata lebih rela digosipin jelek ketimbang dilupakan atau tak dianggap ada sama sekali.   Foto Ilstrasi: diana.grytsku/Freepik
Foto Ilstrasi: diana.grytsku/Freepik


Ringkasan:

  • Sekitar 15 persn orang lebih memilih digosipin buruk daripada tidak dibicaran sama sekali.
  • Orang-orang narsis cenderung senang jadi bahan omongan, bahkan yang negatif.
  • Digosipin, meski jelek, bisa bikin orang merasa "ada" dan tidak diabaikan.


PENELITIAN yang dimuat di jurnal Self and Identity dan dipimpin oleh Andrew Hales dari University of Mississippi ini menantang anggapan umum bahwa semua orang pasti lebih suka tidak jadi bahan omongan. 


Melalui lima studi yang melibatkan lebih dari 2.000 partisipan, tim ini menggali sisi yang jarang dibahas, bagaimana rasanya jadi orang yang digosipin.


Saat gosipnya positif, sekitar 64 persen peserta lebih memilih jadi bahan omongan ketimbang dilupakan. Tapi yang mengejutkan, dalam skenario gosip negatif sekalipun, sekitar 1 dari 7 orang tetap lebih suka dibicarakan daripada diabaikan.


Gosip yang ambigu — belum jelas arahnya positif atau negatif — tetap lebih disukai oleh sekitar 25% responden dibanding tak diomongin sama sekali. Dan ini berlaku baik dalam konteks nongkrong santai maupun suasana kerja.


Studi ini menemukan beberapa pola menarik. Laki-laki lebih terbuka terhadap gosip (termasuk yang negatif) dibanding perempuan. 


Sementara itu, anak muda lebih senang jadi bahan gosip positif dibanding orang yang lebih tua — mungkin karena mereka lebih haus pengakuan sosial.


Yang paling mencolok, orang dengan tingkat narsisme tinggi jelas paling menikmati jadi bahan gosip, apapun jenisnya. Mereka lebih suka dilihat dan dibicarakan, bahkan kalau omongannya tak bagus. 


“Narsis sering merasa diri mereka istimewa, jadi walau digosipin jelek, mereka tetap ngerasa itu validasi,” kata Hales.


Sering salah paham soal perhatian


Uniknya, peserta studi sering melebih-lebihkan seberapa besar orang lain ingin digosipin secara positif. Tapi untuk gosip negatif, mereka bisa menilai dengan akurat bahwa kebanyakan orang ogah. 


Ini bisa menjelaskan kenapa kita lebih nyaman ngegosipin hal positif — kita pikir orangnya pasti senang dibicarakan.


Studi ini juga menyoroti orang-orang yang merasa sering dikucilkan. Mereka ternyata cenderung ingin digosipin, tapi tak terlalu tertarik dengan gosip positif. 


Mungkin karena pujian terasa tak sesuai dengan persepsi negatif yang mereka miliki tentang diri sendiri.


Akhirnya, studi ini menggarisbawahi betapa kuatnya keinginan manusia untuk “ada” secara sosial. 


Gosip — meskipun dicap buruk — tetap bertahan karena banyak orang lebih takut dilupakan daripada dihakimi. Kadang, bahkan perhatian negatif pun terasa lebih baik daripada tak dilihat sama sekali.***


Sumber: StudyFinds – Narcissists Enjoy Being The Subject Of Trash-Talk And Negative Gossip — Here’s Why


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama