Biang Kerok Naiknya Berat Badan Bukan 'Cuma' Kalori

 Penyebab kenaikan berat badan bisa jadi bukan semata-mata karena pola makan, melainkan karena kekacauan hidup alias “lifestyle instability”.


Penyebab kenaikan berat badan bisa jadi bukan semata-mata karena pola makan, melainkan karena kekacauan hidup alias “lifestyle instability”.    Foto Ilustrasi: FreepikFoto Ilustrasi: Freepik


Ringkasan:

  • Kenaikan berat badan tahunan sering terjadi dalam lonjakan-lonjakan akibat gangguan hidup, bukan akumulasi kalori kecil tiap hari.
  • Stres kronis bisa memperlambat metabolisme dan memicu nafsu makan manis lewat hormon kortisol.
  • Strategi mencegah obesitas bisa lebih efektif jika fokus pada momen-momen rawan, bukan perubahan ekstrem sepanjang waktu.


SELAMA ini banyak di antara kita yang mungkin percaya bahwa berat badan naik perlahan karena asupan kalori yang sedikit demi sedikit melebihi kebutuhan harian. 


Namun, para peneliti dari Loughborough University, Inggris, menyebut bahwa kejadian-kejadian dalam hidup yang mengguncang rutinitas bisa jadi penyumbang utama lemak tubuh yang makin menumpuk tiap tahun.


Kekacauan hidup alias “lifestyle instability” mulai dari sakit, stres kerja, pesta keluarga, hingga putus cinta.


Naik Berat Badan Itu 'Meledak'


Menurut Arthur Daw dan timnya, selama ini kita mengira berat badan naik secara linear dan pelan. Bahkan ada anggapan populer bahwa “kelebihan satu butir anggur per hari” sudah bisa bikin gemuk dalam jangka panjang. 


Anggapan ini memicu lahirnya banyak diet ekstrem yang justru tak sehat.


Tapi kini, dengan bantuan teknologi seperti Fitbit, para ilmuwan melihat pola yang berbeda: 


kenaikan berat badan cenderung terjadi dalam lonjakan-lonjakan tajam yang terkait dengan peristiwa hidup tertentu, bukan bertambah sedikit demi sedikit setiap hari.


Misalnya: seminggu liburan penuh makanan tinggi lemak, stres berat karena pekerjaan, atau perubahan obat medis. Semua ini bisa mengguncang pola makan dan gerak, lalu... boom! Berat badan pun naik drastis.


Stres, Kortisol, dan Nafsu Gula


Dampak stres terhadap tubuh juga tak bisa diremehkan. Saat stres, tubuh memproduksi hormon kortisol yang mematikan sementara fungsi-fungsi tubuh non-darurat—termasuk metabolisme.


Kortisol juga bisa mengacaukan kadar insulin, memicu turunnya gula darah, dan akhirnya membuat kita ngidam makanan manis. Respons ini dulunya berguna buat kabur dari beruang, tapi sekarang malah bikin kita “lari” ke kulkas.


Mau stres karena hubungan, keuangan, atau tugas akhir? Semuanya bisa jadi “pemicu obesogenik”, alias pencetus lemak.


Intervensi Tidak Perlu Selalu Berat


Kabar baiknya: kalau memang berat badan naik karena episode-episode tertentu, maka cara mencegahnya pun tidak harus perubahan drastis sepanjang tahun.


Menurut tim peneliti, intervensi ringan yang ditargetkan saat momen-momen “rawan” bisa jadi jauh lebih efektif. Misalnya: punya strategi khusus saat musim liburan, atau saat tahu kita akan menghadapi minggu-minggu sibuk dan stres tinggi.


Selain itu, teknologi seperti kecerdasan buatan bisa membantu mendeteksi dan memberi peringatan dini saat ritme hidup mulai terganggu.


Dan tentu saja, penting juga untuk ingat bahwa berat badan tidak sepenuhnya dalam kendali kita. Maka, daripada terobsesi menurunkan angka timbangan, lebih baik fokus pada gaya hidup sehat yang realistis dan berkelanjutan.***


Sumber: Disadur dari Science Alert - Weight Gain Might Be Linked to ‘Lifestyle Instability’, Not Just Calories 


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama