Teori konspirasi sering kali berfungsi sebagai penyeimbang psikologis, cara bagi orang-orang yang merasa dirugikan untuk secara simbolis menantang mereka yang berkuasa, bahkan dengan mengorbankan diri mereka sendiri.
Ringkasan:
- Penelitian menunjukkan bahwa teori konspirasi sering digunakan sebagai cara untuk mengatasi perasaan tidak berdaya atau terancam.
- Perasaan spite (kebencian atau dendam) dapat mendorong orang untuk percaya teori konspirasi.
- Teori konspirasi dapat digunakan sebagai cara untuk menantang mereka yang dianggap berkuasa.
ngarahNyaho - Peneliti dari Universitas Staffordshire dan Universitas Birmingham di Inggris menunjukkan bahwa teori konspirasi bukan hanya hasil dari misinformasi.
Studi yang dipublikasikan dalam Journal of Social Issues menunjukkan bahwa beberapa orang percaya pada teori konspirasi karena dendam yang muncul ketika orang merasa dirugikan atau terancam.
“Motif psikologis yang penuh dendam cenderung muncul ketika orang merasa tidak diuntungkan secara kompetitif, sering kali ketika kita merasa tidak yakin, terancam, atau diremehkan,” jelas peneliti utama David Gordon.
“Dendam adalah keinginan untuk ‘menyamakan kedudukan’ dengan mencoba menjatuhkan orang lain karena merasa tidak ada pilihan lain," lanjut ilmuwan dari Universitas Staffordshire itu.
"Teori konspirasi dapat menjadi cara bagi individu untuk memuaskan keinginan ini dengan menolak pendapat ahli dan konsensus ilmiah,” tambah dia seperti dikutip dari StudyFinds.
Dendam adalah perilaku yang merugikan orang yang sedang dengki dan targetnya tetapi mengubah keseimbangan persaingan di antara mereka.
Meskipun tampaknya kontraproduktif, dendam secara historis telah memainkan peran dalam masyarakat, terutama dalam menegakkan kerja sama dan keadilan.
Para peneliti menguji hipotesis mereka melalui tiga penelitian dengan lebih dari 1.000 peserta. Temuan mereka menunjukkan bahwa dendam merupakan prediktor signifikan dari keyakinan konspirasi, termasuk teori konspirasi COVID-19.
Penelitian pertama dengan 301 penduduk Inggris mengukur tingkat dendam, keyakinan konspirasi, dan berbagai faktor psikologis yang terkait dengan pemikiran konspirasi.
Ini termasuk perasaan terancam oleh kelompok lain, perasaan tidak berdaya secara politik, dan ketidaknyamanan dengan ketidakpastian.
Penelitian kedua dengan 405 penduduk Inggris mengonfirmasi temuan ini.
Khususnya, ketika ketidakpastian menjadi faktor utama, kedengkian menyumbang sebagian besar efeknya, yang menunjukkan ketidakpastian merupakan pemicu kuat bagi reaksi dengki.
"Kami tidak menyarankan bahwa orang secara sadar memilih untuk bersikap dengki ketika mempercayai dan menyebarkan teori konspirasi," jelas rekan penulis studi Megan Birney dari Universitas Birmingham.
"Sebaliknya, temuan kami menunjukkan bahwa perasaan tidak diuntungkan dapat memicu respons psikologis umum - dengki - yang membuat individu lebih reseptif untuk mempercayai teori konspirasi."
Penelitian ini menantang cara kita memandang para penganut teori konspirasi.
Alih-alih sekadar mendapat informasi yang salah, beberapa mungkin menanggapi kerugian yang dirasakan dengan cara yang masuk akal secara psikologis bagi mereka.
Dengan menolak penjelasan umum, mereka mencoba memperkecil kesenjangan antara diri mereka dan orang-orang yang mereka anggap memiliki keuntungan yang tidak adil
Ketika orang tidak memiliki pengetahuan ilmiah, mereka mungkin merasa dirugikan karena mereka tidak memahami fenomena kompleks sebaik para ahli.
Alih-alih menerima kerugian ini, beberapa individu menolak konsensus ilmiah sepenuhnya, mengklaim bahwa ilmuwan iklim berkonspirasi atau bahwa para ahli medis menyembunyikan "kebenaran" tentang vaksin.
Penolakan ini dapat menciptakan rasa memiliki pengetahuan khusus, yang mengubah keseimbangan kekuasaan yang dirasakan.
Demikian pula, ketika individu merasa tidak berdaya secara politik, teori konspirasi memungkinkan mereka untuk menolak legitimasi lembaga yang berkuasa.
Dengan memandang ilmuwan, pemerintah, atau perusahaan sebagai konspirator jahat, orang-orang yang percaya dapat menjelaskan kerugian mereka sambil melemahkan orang-orang yang mereka anggap lebih berkuasa.
Penelitian sebelumnya mengidentifikasi tiga motivasi utama di balik kepercayaan konspirasi: memahami dunia, merasa aman, dan mempertahankan citra diri yang positif.
Studi baru ini menunjukkan bahwa dendam dapat menyatukan motif-motif ini, yang menunjukkan bahwa semuanya merupakan manifestasi dari respons umum terhadap perasaan dirugikan.
Hal ini dapat diatasi melalui komunikasi sains dan literasi media yang lebih baik.
Makna bagi masyarakat
Jika dendam berperan dalam kepercayaan konspirasi dan penolakan sains, mengatasi masalah ini memerlukan lebih dari sekadar memberikan informasi yang akurat. Ini berarti mengatasi perasaan dirugikan yang mendasarinya.
"Jika kita memahami kepercayaan konspirasi sebagai manifestasi dari kebencian maka menanggulangi misinformasi tidak dapat dipisahkan dari upaya mengatasi masalah sosial yang lebih luas seperti ketidakamanan finansial dan kesenjangan," imbuh Gordon.
Penelitian ini dapat mengubah cara pandang kita terhadap teori konspirasi, dari sekadar melihat mereka sebagai orang yang tidak rasional menjadi memahami bahwa beberapa orang mungkin menanggapi tekanan sosial yang nyata.
Masalahnya bukan hanya psikologi individu tetapi juga masalah yang lebih luas seperti kesenjangan, pencabutan hak politik, dan informasi ilmiah yang rumit yang sulit dipahami oleh orang awam. |Sumber: StudyFinds
إرسال تعليق