Senjata untuk Perangi Emisi Karbon di ASEAN: Lahan Gambut dan Mangrove

 Konservasi dan restorasi lahan gambut dan hutan mangrove di Asia Tenggara dapat mengurangi lebih dari 50 Persen emisi karbon dari penggunaan lahan di wilayah tersebut


Konservasi dan restorasi lahan gambut dan hutan mangrove di Asia Tenggara dapat mengurangi lebih dari 50 Persen emisi karbon dari penggunaan lahan di wilayah tersebut.     Foto Ilustrasi: Jose Eduardo Camargo/PixabayFoto Ilustrasi: Jose Eduardo Camargo/Pixabay


Ringkasan: 

  • Hasil studi menekankan pentingnya memasukkan konservasi dan restorasi lahan gambut dan hutan mangrove dalam strategi nasional untuk mengurangi emisi karbon.
  • Konservasi dan restorasi lahan gambut dan hutan mangrove dapat mengurangi lebih dari 50 persen emisi karbon dari penggunaan lahan di Asia Tenggara.
  • Lahan gambut dan hutan mangrove memiliki kemampuan menyimpan karbon yang tinggi.


ngarahNyaho - Para peneliti dari National University of Singapore (NUS) menyoroti manfaat iklim yang signifikan dari konservasi dan pemulihan lahan gambut dan hutan bakau.


Ilmuwan dari NUS berkolaborasi dengan peneliti dari Nanyang Technological University, Singapura, dan James Cook University di Australia pada penelitian yang diterbitkan di Nature Communications itu.


Meski hanya lima persen dari daratan Asia Tenggara, lahan gambut dan hutan mangrove memainkan peran yang sangat besar dalam upaya pengurangan emisi.


Bersama-sama, ekosistem ini menyimpan lebih dari 90 persen karbonnya di tanah dan bukan di vegetasi, menjadikannya salah satu penyerap karbon alami yang paling efisien secara global.


Namun, ketika terganggu atau hancur melalui aktivitas seperti perubahan penggunaan lahan, ekosistem ini melepaskan sejumlah besar karbon ke atmosfer.


Hal tersebut menimbulkan tantangan besar dalam mencapai target pengurangan emisi.


Selain itu, degradasi lahan gambut selama musim kemarau, seperti yang terkait dengan peristiwa El Niño, tidak hanya mengakibatkan emisi karbon dalam jumlah besar.


Situasi itu juga berkontribusi terhadap terjadinya kabut asap regional, yang memengaruhi kualitas udara di berbagai negara termasuk Singapura.


Associate Professor Massimo Lupascu, peneliti utama dan penulis utama makalah ini, menjelaskan apa saja manfaat melestarikan dan memulihkan lahan gambut dan hutan bakau yang padat karbon di Asia Tenggara.


"Kita dapat mengurangi sekitar 770 megaton setara CO2 (MtCO2e) setiap tahunnya, atau hampir dua kali lipat emisi gas rumah kaca nasional Malaysia pada tahun 2023,” kata dia seperti dikutip dari EurekAlert.


“Penelitian kami menggarisbawahi manfaat iklim yang sangat besar dari perlindungan ekosistem ini, menjadikannya solusi iklim alami yang pragmatis dan efektif bagi negara-negara ASEAN,” kata Lupascu


Asia Tenggara merupakan rumah bagi beberapa kawasan hutan hujan tropis dan hutan bakau terluas di dunia. 


Ekosistem ini berbagi tanah yang jenuh air dan terbatas oksigen yang memperlambat dekomposisi bahan organik, sehingga memungkinkan mereka bertindak sebagai penyerap karbon alami saat tidak terganggu.


Namun, karbon yang tersimpan di dalam tanah ini bersifat “tidak dapat dipulihkan”, yang berarti karbon tersebut tidak dapat dengan mudah digantikan setelah hilang akibat aktivitas manusia, seperti pertanian atau pembangunan perkotaan.


Studi ini juga memberikan estimasi terkini emisi dari lahan gambut dan hutan bakau yang terganggu di Asia Tenggara dari tahun 2001 hingga 2022, dipecah berdasarkan jenis penggunaan lahan dan negara.


Dengan melakukan hal itu, ia menyediakan data penting bagi para pembuat kebijakan untuk mengidentifikasi titik panas untuk intervensi dan memprioritaskan upaya konservasi.


Dalam makalah mereka, para peneliti menyerukan kepada pemerintah ASEAN untuk mengintegrasikan konservasi lahan gambut dan bakau ke dalam strategi iklim nasional.


Mengingat kapasitas penyimpanan karbonnya yang tinggi dan kemampuannya untuk mengurangi emisi penggunaan lahan, lahan gambut dan hutan bakau merupakan pendekatan yang hemat biaya dan berdampak besar untuk mencapai target nol bersih.


Dengan melestarikan dan memulihkan ekosistem ini, negara-negara Asia Tenggara dapat mengurangi emisi, membangun ketahanan iklim, dan mendukung masyarakat lokal yang bergantung pada lahan basah untuk mata pencaharian mereka. |Sumber: EurekAlert


Post a Comment

أحدث أقدم