Media digital yang tak terbatas seharusnya dapat menyembuhkan kebosanan selamanya, tetapi hasil studi menunjukkan hal sebaliknya.
ngarahNyaho - Di dunia tempat kita memiliki akses konstan ke hiburan dan informasi, orang mungkin mengira kebosanan akan menjadi peninggalan masa lalu. Namun, penelitian terbaru menunjukkan sebaliknya.
Menurut perspektif yang diterbitkan dalam Communications Psychology, orang melaporkan tingkat kebosanan yang lebih tinggi saat ini daripada satu dekade lalu.
Peneliti Katy Tam dan Michael Inzlicht, psikolog di University of Toronto, meneliti paradoks ini. Teknologi yang dirancang untuk memikat kita, pada kenyataannya, berkontribusi pada rasa bosan yang semakin meningkat.
Selama beberapa generasi, orang-orang menonton televisi, membaca buku, atau sekadar melihat ke luar jendela saat merasa bosan. Kini, dengan sentuhan jari, kita dapat menonton film, menelusuri medsos, atau bermain game online.
Namun, menurut penelitian dari AS dan Cina, rasa bosan meningkat antara tahun 2009 dan 2020, khususnya di kalangan anak muda.
Di AS, sebuah penelitian yang melibatkan lebih dari 100.000 siswa sekolah menengah mengungkapkan peningkatan yang nyata dalam tingkat kebosanan, khususnya setelah tahun 2010.
Para peneliti mencatat bahwa remaja sering menilai diri mereka sebagai "sering bosan", dengan tren yang meningkat selama bertahun-tahun.
Di Cina, sebuah meta-analisis terhadap mahasiswa menemukan bahwa kecenderungan untuk sering merasa bosan juga meningkat tajam selama dekade terakhir.
Jadi, apa yang terjadi? Jawabannya mungkin terletak pada hubungan kita dengan perangkat digital.
Tam dan Inzlicht berpendapat bahwa meskipun teknologi digital menawarkan hiburan tanpa akhir, teknologi ini juga meningkatkan ambang kebosanan kita.
Ponsel pintar dan media sosial membombardir kita dengan notifikasi dan konten yang terfragmentasi, menarik perhatian kita ke berbagai arah.
Hasilnya adalah pikiran kita, yang terus-menerus berpindah antara aplikasi dan video, kesulitan untuk fokus. Gangguan yang terus-menerus ini, alih-alih mengurangi kebosanan, malah memperburuknya.
Faktanya, penelitian menunjukkan bahwa sekadar memiliki ponsel pintar di dekat Anda dapat menurunkan kapasitas kognitif Anda, meskipun tidak sedang digunakan secara aktif.
"Perangkat digital memperparah kebosanan dengan mengganggu perhatian," jelas para peneliti sebagaimana dikutip dari ZME Magazine.
Ketika perhatian kita terbagi, kita kehilangan kemampuan untuk benar-benar tenggelam dalam satu aktivitas. Dan ketika itu terjadi, kebosanan pun merasuk.
Selain itu, ekspektasi kita untuk terlibat telah meroket. Kita sekarang begitu terbiasa dengan dorongan dopamin cepat yang diberikan oleh media sosial dan platform streaming.
Hal tersebut membuat aktivitas yang lebih lambat dan lebih bermakna, seperti membaca buku atau sekadar duduk diam mengagumi pemandangan, tidak lagi memuaskan kita.
Bukan hanya jumlah konten yang sangat banyak yang menjadi masalah. Para peneliti berpendapat bahwa media digital menciptakan lingkaran umpan balik yang memperburuk kebosanan.
Ketika orang merasa bosan, mereka beralih ke ponsel mereka untuk mencari solusi cepat. Namun, alih-alih merasa puas, mereka sering kali merasa semakin gelisah.
"Penggunaan media digital, alih-alih mengurangi kebosanan, justru meningkatkannya," catat penelitian tersebut.
Siklus ini khususnya meresahkan bagi generasi muda (yaitu Gen Z) yang tumbuh dikelilingi oleh layar digital.
Alih-alih belajar cara mengatasi kebosanan secara konstruktif — dengan terlibat dalam aktivitas kreatif atau refleksi diri — mereka cenderung mencari stimulasi yang konstan.
Ketergantungan pada perangkat ini mungkin menjadi alasan mengapa kebosanan menjadi masalah kronis, yang terkait dengan masalah kesehatan mental seperti kecemasan dan depresi.
Itu tidak berarti bahwa kebosanan pada dasarnya buruk. Faktanya, kebosanan dapat menjadi katalisator kreativitas dan refleksi diri. Namun, ketika orang menggunakan media digital untuk menghindari kebosanan, mereka kehilangan manfaat ini.
“Kebosanan memiliki fungsi pengaturan diri yang penting,” jelas Tam dan Inzlicht. Kebosanan merupakan sinyal bahwa ada sesuatu yang hilang, yang mendorong kita untuk mencari keterlibatan yang lebih bermakna.
Jadi, tantangannya bukanlah menyingkirkan perangkat digital dari kehidupan kita — yang mana hal itu tidak mungkin dilakukan — tetapi mempelajari cara menggunakannya dengan cara yang tidak menyebabkan rasa hampa.
Ini bisa berarti menyisihkan waktu untuk aktivitas offline, melatih kesadaran, atau sekadar menikmati momen-momen kehidupan yang membosankan tanpa harus bergantung pada ponsel pintar. |
Sumber: ZME Magazine
إرسال تعليق