Musik hanya Sekadar Suara Tanpa Makna Emosional, Bagi Sebagian Orang

Bagi sebagian kecil orang, musik tak lebih dari sekadar suara latar tanpa makna emosional. 


Bagi sebagian kecil orang, musik tak lebih dari sekadar suara latar tanpa makna emosional.Foto Ilustrasi: 8photo/Freepik 


Ringkasan

  • Sekitar 10% orang memiliki sensitivitas rendah terhadap kenikmatan musik meski punya pendengaran normal.
  • Kondisi ini disebut specific musical anhedonia dan disebabkan oleh lemahnya koneksi otak antara pusat suara dan pusat kesenangan.
  • Studi menunjukkan faktor genetik dan struktur otak berperan besar dalam respons seseorang terhadap musik.


PERNAH bertemu orang yang tak tersentuh sama sekali saat mendengar lagu favorit kamu? Mungkin mereka adalah bagian dari sekitar 10% populasi yang mengalami specific musical anhedonia


Ini bukan karena mereka "gak nyambung" atau kurang gaul, melainkan karena otak mereka memang tidak merespons musik seperti kebanyakan orang.


Kondisi ini dibedakan dari tone deaf (buta nada) atau ketidakmampuan menikmati hal-hal lain. 


Orang dengan musical anhedonia tetap bisa merasa senang saat makan enak, bermain dengan teman, atau menerima uang. Tapi saat mendengar lagu, bahkan yang dinilai menyentuh jiwa banyak orang, tidak ada reaksi. 


Dalam studi yang dikaji oleh tim ilmuwan dalam jurnal Trends in Cognitive Sciences, pemindaian otak dengan fMRI menunjukkan bahwa area nucleus accumbens (pusat penghargaan) tidak aktif secara signifikan saat penderita anhedonia mendengarkan musik. 


Padahal pada orang biasa, area ini "menyala" ketika mendengar lagu yang disukai.


Masalahnya bukan pada kerusakan otak, tapi pada koneksi antar bagian otak, khususnya antara auditory cortex (pengolah suara) dan area penghargaan seperti orbitofrontal cortex


Bayangkan seperti kabel yang longgar, suara masuk, tapi tak sampai ke tempat yang memicu perasaan senang.


Dalam kajian tersebut, para peneliti mengelompokkan tiga tipe responden dengan skor rendah terhadap kesenangan musik:


  1. Mereka yang memang kesulitan mendeteksi nada atau ritme (tone deaf).
  2. Mereka yang punya anhedonia umum, sulit merasakan kesenangan dari apa pun.
  3. Mereka dengan musical anhedonia spesifik, yang hanya tidak mendapatkan kenikmatan dari musik, meski bisa menikmati hal lain.


Uniknya, sebagian dari kelompok ketiga tetap merasakan dorongan untuk bergerak mengikuti irama. Ini menunjukkan bahwa otak memproses gerakan dan emosi dari musik lewat jalur yang berbeda.


Sebuah studi terhadap anak usia 3–7 tahun yang dinilai orang tuanya menunjukkan bahwa perbedaan sensitivitas terhadap musik bisa terlihat sejak dini. 


Bahkan, studi terhadap kembar menunjukkan bahwa sekitar 54% variasi dalam kenikmatan musik dipengaruhi faktor genetik.


Selama pandemi COVID-19, musik jadi pelarian banyak orang. Namun, bagi mereka yang kurang sensitif terhadap penghargaan dari musik, kegiatan ini tidak memberi pengaruh signifikan pada suasana hati. 


Sebaliknya, mereka yang memiliki respons tinggi terhadap musik mendapatkan manfaat lebih besar secara emosional.


Apakah kondisi ini bisa diubah? 


Penelitian masih terus berjalan. Beberapa studi mencoba stimulasi otak non-invasif untuk “menghidupkan” kembali jalur musik ke pusat penghargaan. 


Hasilnya menjanjikan, tapi belum bisa disimpulkan bahwa perubahan itu permanen.


Ilmuwan juga mempertimbangkan kemungkinan adanya bentuk anhedonia lain—seperti tidak merespons sentuhan sosial, keindahan visual, atau rasa makanan tertentu—karena jalur reward yang tak terhubung.


Disadur dari StudyFinds


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama