Miliaran bintang laut di berbagai belahan dunia telah lenyap dalam satu dekade terakhir, tubuh berduri mereka meleleh menjadi bubur aneh akibat penyakit misterius yang disebut sea star wasting disease.
Ringkasan
- Penyebab utama kematian massal bintang laut adalah bakteri Vibrio pectenicida, bukan virus.
- Sunflower sea star (bintang laut raksasa) kehilangan lebih dari 90% populasinya, membuatnya masuk kategori kritis punah.
- Hilangnya bintang laut memicu ledakan populasi bulu babi laut yang merusak hutan kelp, ekosistem penting di lautan.
PENYAKIT ini pertama kali dilaporkan pada 2013 di sepanjang pantai barat Amerika Utara. Gejalanya mengerikan, tubuh bintang laut penuh lesi, otot melemah, lengan terpelintir lalu copot satu per satu, hingga dalam hitungan hari hewan itu mati.
Sunflower sea star (Pycnopodia helianthoides), salah satu spesies bintang laut terbesar dengan lengan hingga 24, menjadi korban paling parah dengan penurunan populasi lebih dari 90%.
Pada 2020, IUCN menetapkan spesies ini sebagai “sangat terancam punah.”
Kematian massal ini bukan sekadar kehilangan makhluk indah berwarna jingga dan ungu.
Sunflower sea star berperan penting sebagai predator bulu babi. Tanpa mereka, bulu babi berkembang biak tanpa kontrol dan melahap habis hutan kelp, ekosistem laut yang kaya dan berlapis-lapis.
Hutan kelp bukan hanya rumah bagi anjing laut, berang-berang laut, hingga ikan komersial, tapi juga berfungsi menyerap karbon dioksida serta melindungi garis pantai dari badai.
Hilangnya bintang laut berarti kehancuran berantai pada ekosistem laut yang sudah rapuh.
Awalnya, ilmuwan menduga virus sebagai penyebab penyakit ini. Namun, uji laboratorium membuktikan sebaliknya.
Bintang laut sehat yang dipaparkan jaringan terinfeksi cepat membusuk, kecuali bila patogen telah difilter atau dipanaskan, tanda khas penyakit bakteri, bukan virus.
Analisis genetik kemudian menunjukkan keberadaan Vibrio pectenicida, kerabat bakteri penyebab kolera pada manusia dan pemutihan karang.
Temuan ini memberikan kepastian, Vibrio pectenicida strain FHCF-3 adalah dalang di balik wabah global ini.
“Saat kami melihat bintang laut sehat mulai membusuk setelah terinfeksi, kami semua merinding,” kata Alyssa Gehman, ahli penyakit laut dari Hakai Institute, Kanada.
Ilmuwan juga mencurigai bahwa krisis iklim memperburuk masalah. Bakteri Vibrio dikenal berkembang lebih cepat di perairan hangat.
Menariknya, populasi bintang laut masih bertahan di fjord dingin British Columbia, seakan menunjukkan bahwa suhu rendah memberi perlindungan alami.
Mengetahui penyebab pastinya menjadi langkah penting untuk menyelamatkan bintang laut, terutama sunflower sea star, dan menjaga fungsi vital hutan kelp.
Penelitian ini juga mengingatkan bahwa perubahan iklim dan penyakit laut bisa berinteraksi, mempercepat runtuhnya ekosistem.
Seperti dikatakan Jono Wilson dari The Nature Conservancy, memahami tragedi ini adalah kunci untuk memulihkan bintang laut sekaligus menjaga laut tetap hidup.
Disadur dari Science Alert

إرسال تعليق