Mengapa Trauma Masa Kecil Memicu Agresi pada Remaja Gamer?

Pengalaman buruk masa kecil tidak hanya berdampak pada emosi, tetapi juga memengaruhi cara otak bereaksi saat remaja mengalami kecanduan game. 


Pengalaman buruk masa kecil tidak hanya berdampak pada emosi, tetapi juga memengaruhi cara otak bereaksi saat remaja mengalami kecanduan game.Ilustrasi dibuat oleh AI.


Ringkasan 

  • Aktivitas berlebih pada area left precuneus menghubungkan trauma masa kecil dengan agresi pada remaja dengan IGD.
  • Remaja IGD dengan riwayat trauma menunjukkan agresi reaktif lebih tinggi dibandingkan yang tanpa trauma.
  • Temuan menyoroti perlunya intervensi khusus bagi remaja gamer dengan riwayat trauma.


STUDI di Cina menemukan, perubahan aktivitas otak pada area left precuneus menjadi penghubung utama antara trauma masa kecil dan peningkatan agresi pada remaja dengan gangguan gaming internet. 


Gangguan gaming atau internet gaming disorder (IGD) adalah bentuk kecanduan perilaku yang ditandai dengan penggunaan game online secara berlebihan dan tak terkendali. 


Remaja yang mengalaminya biasanya sulit menghentikan kebiasaan bermain, memprioritaskan game daripada sekolah, hubungan sosial, atau bahkan kebutuhan fisik seperti tidur dan makan. 


Ketika dipaksa berhenti bermain, mereka dapat mengalami gejala mirip putus zat, seperti mudah marah, cemas, atau gelisah.


Menurut berbagai studi, termasuk ulasan dalam Frontiers in Psychiatry (2021), remaja adalah kelompok paling rentan karena otak mereka masih berkembang, terutama di area yang mengatur kendali impuls dan penghargaan. 


Sistem dopamin yang teraktivasi saat bermain game juga bekerja serupa dengan mekanisme kecanduan narkoba pada level neurobiologis.


Sementara penelitian yang dipublikasikan di Journal of Affective Disorders dan digagas oleh Shijie Chen dan timnya, ingin memahami bagaimana trauma masa kecil memicu agresi pada remaja dengan IGD. 


Mereka menjelaskan bahwa anak yang mengalami kekerasan fisik, emosional, atau pengabaian cenderung menggunakan game sebagai pelarian dari stres atau kesedihan, sehingga risiko IGD lebih tinggi. 


Studi sebelumnya juga menunjukkan bahwa trauma dan IGD sama-sama berkaitan dengan gangguan pada area otak yang mengatur emosi dan impuls.


Sebanyak 111 peserta berusia 10–18 tahun dilibatkan. Mereka dibagi menjadi tiga kelompok:

  • 31 remaja IGD tanpa trauma,
  • 43 remaja IGD dengan riwayat trauma,
  • 37 remaja sehat sebagai kontrol.


Para peserta menjalani wawancara klinis, mengisi kuesioner trauma, agresi, dan kecanduan internet, serta menjalani pemindaian MRI untuk melihat aktivitas otak mereka.


Saat dua kelompok IGD dibandingkan, terlihat perbedaan mencolok. Kelompok dengan trauma menunjukkan aktivitas spontan otak yang lebih tinggi di area left precuneus.


Itu adalah bagian otak yang terkait dengan refleksi diri, pengolahan emosi, dan respons agresif.


Semakin tinggi skor trauma, semakin tinggi aktivitas area ini. Dan semakin tinggi aktivitas left precuneus, semakin besar tingkat agresi reaktif, jenis agresi impulsif yang muncul karena marah sesaat, bukan agresi yang direncanakan.


Para peneliti menyimpulkan, “Left precuneus adalah wilayah kunci tempat trauma masa kecil memengaruhi agresi pada remaja dengan IGD.”


Hubungan trauma–aktivitas otak–agresi ini membantu menjelaskan mengapa sebagian remaja gamer terlihat lebih mudah tersulut emosi. 


Temuan ini membuka jalan bagi intervensi yang lebih tepat sasaran, misalnya:

  • terapi pemrosesan trauma,
  • pelatihan regulasi emosi,
  • pendekatan neurofeedback untuk menstabilkan aktivitas otak,
  • konseling keluarga untuk mendukung lingkungan yang aman dan stabil.


Penelitian sebelumnya di JAMA Pediatrics (2022) menunjukkan bahwa program regulasi emosi dapat mengurangi agresi remaja hingga 30%, terutama pada mereka yang memiliki riwayat trauma.


Namun, para peneliti mengakui keterbatasan studi mereka. Karena desainnya observasional, tidak bisa disimpulkan hubungan sebab-akibat definitif. 


Selain itu, pengukuran trauma dan agresi menggunakan laporan diri yang rentan bias.


Meski begitu, studi ini memperkuat pemahaman bahwa kecanduan game bukan sekadar masalah “kebanyakan main”, tetapi sering terkait luka psikologis masa kecil yang belum tertangani. 


Dengan memahami jalur otaknya, intervensi yang lebih efektif dan empatik dapat dirancang untuk membantu remaja yang berada pada persimpangan trauma dan kecanduan digital.


Disadur dari PsyPost.


Post a Comment

أحدث أقدم