Para ilmuwan dan koki bintang Michelin di Denmark bekerja sama menghidupkan kembali resep yogurt kuno asal Bulgaria yang hampir punah dengan bahan rahasianya, semut hidup.
Ringkasan
- Resep yogurt kuno Bulgaria menggunakan semut Formica rufa untuk proses fermentasi alami.
- Asam format, laktat, dan asetat dari tubuh semut membantu penggumpalan dan fermentasi susu.
- Penelitian ini menunjukkan hubungan unik antara tradisi kuliner, mikrobiologi, dan ekologi.
LUPAKAN Greek yogurt atau kefir. Kini ada “ant yogurt” — yogurt fermentasi dengan bantuan semut merah hutan (Formica rufa).
Ide aneh ini bukan asal coba-coba. Penelitian yang diterbitkan di jurnal iScience (2025) membuktikan bahwa resep kuno dari Bulgaria ini benar-benar bisa bekerja.
Riset menghasilkan yogurt dengan rasa “asam lembut, sedikit herbal, dan aroma lemak sapi yang khas padang rumput.”
Proyek ini lahir dari kolaborasi unik antara ilmuwan mikrobiologi dari Technical University of Denmark dan tim koki dari restoran The Alchemist.
Restoran tersebut berstatus dua bintang Michelin di Kopenhagen yang dikenal dengan eksperimen kulinernya.
Leonie J. Jahn, peneliti utama studi ini, mengungkap bahwa proyek dimulai secara kebetulan, setelah seorang mahasiswa doktoralnya dari desa Bulgaria menceritakan tentang tradisi “yogurt semut” yang diwariskan turun-temurun.
Tim pun pergi ke desa tersebut, belajar langsung dari penduduk lokal. Mereka menemukan bahwa semut merah hutan digunakan bukan sebagai bahan tambahan rasa, tetapi sebagai “pemicu fermentasi”.
Dalam versi asli, empat ekor semut hidup dimasukkan ke dalam susu mentah hangat yang ditutup kain, lalu ditempatkan di dekat sarang semut semalaman.
Keesokan harinya, susu berubah asam—langkah pertama menuju yogurt.
Peneliti kemudian mencari penjelasan ilmiahnya. Hasil analisis menunjukkan bahwa semut membawa senyawa asam format (zat pertahanan diri alami semut) yang membantu menggumpalkan protein susu.
Selain itu, semut juga membawa asam laktat dan asam asetat yang mempercepat fermentasi, serta bakteri alami yang membentuk tekstur lembut pada yogurt. Singkatnya, tubuh semut adalah mesin pembuat yogurt mikro alami.
Namun ada syarat penting: semutnya harus hidup. Percobaan dengan semut mati, beku, atau kering gagal memicu fermentasi yang sama. Ini menunjukkan betapa kompleksnya interaksi mikroba dan biokimia yang terjadi dalam proses fermentasi alami tersebut.
Setelah riset berhasil, para chef di The Alchemist pun bereksperimen menciptakan menu unik, es krim “ant-wich”, mascarpone susu kambing dengan tambahan semut kering, dan koktail susu yang digumpalkan dengan semut.
Walau terdengar ekstrem, para koki menyebut hasilnya justru “elegan dan kompleks secara rasa”—bukti bahwa sains dan seni kuliner bisa saling memperkaya.
Meski begitu, para peneliti menegaskan agar resep ini tidak dicoba di rumah. Selain karena semut tidak diizinkan sebagai bahan pangan di Uni Eropa, semut liar bisa membawa parasit atau kontaminan berbahaya.
“Eksperimen ini lebih untuk memahami kebijaksanaan tradisi kuno dan bagaimana manusia bergantung pada makhluk lain—dari sapi, tumbuhan, hingga semut,” ujar Jahn.
Lebih dari sekadar makanan eksperimental, riset ini menunjukkan bahwa kuliner adalah jembatan antara alam, mikrobiologi, dan budaya.
Mungkin, seperti kata Jahn, “dalam setiap sendok yogurt, kita sebenarnya sedang merasakan kerja sama antara spesies yang tak terhitung jumlahnya.”
Disadur dari Gizmodo.

إرسال تعليق