Bahkan, bagi mereka yang pernah terkena stroke, efek protektif mineral ini bisa lebih besar.
Ringkasan
- 1,22 mg tembaga per hari terbukti optimal menjaga daya pikir lansia.
- Efek protektifnya lebih kuat pada penyintas stroke.
- Tembaga membantu kerja otak, tapi jika berlebihan bisa berbahaya.
PENELITI dari Fourth Hospital of Hebei Medical University, Cina, melakukan analisis pada lebih dari 2.300 orang dewasa berusia 60 tahun ke atas di Amerika Serikat.
Datanya berdasarkan survei NHANES (National Health and Nutrition Examination Survey) antara 2011 hingga 2014.
Tujuannya, mengkaji seberapa besar pengaruh konsumsi tembaga dalam makanan terhadap kemampuan otak.
Peserta menjalani tiga tes kognitif:
- Digital Symbol Substitution Test (DSST) untuk mengukur memori kerja dan perhatian,
- Animal Fluency Test (AFT) untuk menguji kelancaran bicara,
- serta global cognition z-score sebagai penilaian menyeluruh.
Selain itu, mereka juga diminta melaporkan pola makan harian mereka, termasuk berapa banyak tembaga yang mereka konsumsi.
Hasilnya cukup mengejutkan: mereka yang mengonsumsi tembaga antara 1,2–1,6 mg per hari tampil jauh lebih baik dalam tes-tes tersebut.
Bahkan, angka ideal yang ditemukan studi ini, sekitar 1,22 mg per hari, lebih tinggi dari rekomendasi resmi FDA Amerika Serikat yang hanya 0,9 mg.
Artinya, standar harian mungkin perlu dikaji ulang, terutama bagi lansia.
Menariknya lagi, efek positif tembaga paling mencolok terlihat pada peserta yang punya riwayat stroke.
Mereka yang mengonsumsi tembaga dalam kadar tinggi menunjukkan kemampuan kognitif yang jauh lebih baik.
Hal ini menunjukkan bahwa tembaga mungkin punya efek neuroprotektif atau bahkan mendukung pemulihan saraf setelah serangan stroke.
Secara biologis, tembaga memang krusial untuk fungsi otak. Ia membantu produksi neurotransmitter, mendukung metabolisme energi di mitokondria, serta memperkuat sinyal antarsel otak.
Tapi hati-hati, kalau kadarnya berlebihan, justru bisa memicu proses neurodegeneratif. Penelitian pada 2013 bahkan menyebutkan bahwa tembaga bisa berkontribusi pada perkembangan penyakit Alzheimer.
Para peneliti menekankan bahwa meskipun hasilnya menjanjikan, ini baru studi observasional, belum bisa disimpulkan sebagai sebab-akibat mutlak.
Mereka juga tak menyarankan konsumsi suplemen tembaga, karena zat ini mudah ditemukan di makanan seperti kacang-kacangan, biji-bijian, sayuran hijau, hati sapi, hingga tiram.
Mengingat bahwa asupan dalam jumlah kecil sudah cukup (sekitar satu miligram per hari), langkah paling bijak adalah menjaga pola makan seimbang.
Lagi pula, tembaga juga disimpan tubuh dalam jumlah sangat kecil dan sulit dibuang bila berlebih, sehingga suplemen justru bisa membawa risiko.
Studi ini memang membuka wawasan baru tentang pentingnya mineral jejak bagi otak yang menua.
Namun, karena data asupan makan dikumpulkan melalui pelaporan mandiri (yang rawan bias), diperlukan studi jangka panjang dan intervensi lebih dalam untuk memastikan manfaat dan batas aman tembaga secara ilmiah.
Satu hal yang jelas, saat usia bertambah, kebutuhan nutrisi untuk menjaga otak tetap tajam juga berubah. Dan siapa sangka, mineral kecil seperti tembaga bisa memainkan peran besar dalam proses itu.
Disadur dari New Atlas.
إرسال تعليق