Hari orang utan Sedunia yang jatuh pada 19 Agustus 2025 menjadi pengingat bahwa melindungi orang utan berarti juga menjaga hutan, iklim, dan masa depan kita bersama.
Ringkasan
- Orang utan adalah “tukang kebun hutan” yang menjaga regenerasi ekosistem.
- Riset terbaru mengungkap kecerdasan bahasa orang utan lebih kompleks dari dugaan.
- Ancaman terbesar: deforestasi, perkebunan sawit, perburuan, dan perdagangan ilegal.
ORANG UTAN bukan hanya satwa karismatik, mereka juga berperan penting sebagai penyebar biji. Saat memakan buah dan membuang bijinya di berbagai tempat, orang utan membantu hutan tetap sehat.
Hutan yang sehat bukan hanya rumah bagi satwa liar, tapi juga penyerap karbon, pengatur iklim, dan sumber air bersih bagi manusia. Dengan kata lain, menyelamatkan orang utan sama dengan menyelamatkan ekosistem yang menopang kehidupan kita.
Menariknya, penelitian terbaru menyingkap kecerdasan komunikasi orang utan.
Studi dari University of Warwick menemukan bahwa orang utan Sumatra menggunakan pola vokal rekursif dalam panggilan alarm, struktur bahasa yang sebelumnya dianggap hanya dimiliki manusia.
Riset lain dengan machine learning menemukan bahwa orang utan Kalimantan punya tiga tipe “pulse” berbeda dalam panggilan panjang mereka, masing-masing dengan fungsi spesifik.
Ini membuktikan dunia vokal mereka jauh lebih kaya daripada yang pernah diduga.
Kecerdasan orang utan tak berhenti di situ. Mereka juga punya pola tidur yang mirip manusia. Saat kurang tidur di malam hari, mereka akan “balas dendam” dengan tidur siang di sarang darurat.
Studi perilaku ini menunjukkan bahwa meskipun berbeda spesies, kita berbagi strategi biologis yang serupa.
Sayangnya, populasi orang utan terus merosot. Dalam 100 tahun terakhir, jumlah mereka turun lebih dari separuh. Penyebab utamanya jelas, deforestasi untuk perkebunan sawit, penebangan liar, dan perburuan.
Bayi orang utan kerap dijadikan hewan peliharaan setelah induknya dibunuh. Akibatnya, habitat makin terfragmentasi, makanan berkurang, dan konflik manusia-satwa meningkat.
Tanpa tindakan nyata, orang utan bisa benar-benar lenyap dalam hitungan dekade.
Namun, ada secercah harapan. Pusat rehabilitasi di Kalimantan dan Sumatra berhasil menyelamatkan orang utan yatim piatu, melatih mereka bertahan hidup, lalu melepasliarkan kembali ke hutan.
Pemerintah dan organisasi konservasi juga mulai membangun kawasan lindung dan koridor satwa liar agar orang utan bisa bermigrasi antarhutan dengan aman.
Sementara itu, sebagian komunitas lokal kini beralih ke pertanian berkelanjutan yang tidak merusak hutan.
Individu juga bisa ikut membantu. Pilihan sederhana seperti membeli produk dengan sertifikasi minyak sawit berkelanjutan, berdonasi untuk pusat penyelamatan, hingga mengadopsi orang utan secara virtual bisa memberi dampak nyata.
Bahkan pariwisata yang bertanggung jawab dapat menunjukkan bahwa hutan yang terjaga jauh lebih bernilai daripada lahan yang ditebang.
Hari orang utan Sedunia 2025 menegaskan bahwa menyelamatkan mereka bukan hanya soal satu spesies, tetapi soal masa depan ekosistem global.
Ilmu pengetahuan sudah jelas, ancamannya nyata, kini tinggal komitmen kita bersama: dari pemerintah, dunia usaha, hingga konsumen.
Orang utan memang tidak bisa melobi atau membuat undang-undang, tapi kita bisa. Pertanyaannya, apakah kita mau bergerak sebelum semuanya terlambat?
Disadur dari Earth.com.
إرسال تعليق