Berita Tak Dicari, Hoaks Tak Disadari: Bahaya Pasif di Era Digital

 Sebuah studi baru mengungkap bahwa kebiasaan pasif menerima berita—alias merasa berita penting akan “menemukan kita sendiri”—ternyata bisa bikin kita lebih rentan menyebarkan berita palsu alias hoaks.


Sebuah studi baru mengungkap bahwa kebiasaan pasif menerima berita—alias merasa berita penting akan “menemukan kita sendiri”—ternyata bisa bikin kita lebih rentan menyebarkan berita palsu alias hoaks.Gambar ilustrasi dibuat oleh AI


Ringkasan

  • Orang yang percaya bahwa berita akan sampai padanya tanpa usaha aktif lebih mungkin menyebarkan hoaks.
  • Platform sosial seperti Facebook dan Instagram cenderung memperkuat keyakinan ini, sementara Reddit justru sebaliknya.
  • Penggunaan HP untuk komunikasi sosial mendorong pola pasif konsumsi berita, tapi penggunaan untuk informasi politik justru menurunkannya.


SEBUAH studi baru mengungkap bahwa kebiasaan pasif menerima berita, alias merasa berita penting akan “menemukan kita sendiri”, ternyata bisa bikin kita lebih rentan menyebarkan berita palsu alias hoaks. 


Penelitian ini dilakukan oleh Ian Hawkins dan Scott W. Campbell dari The Ohio State University, dan dipublikasikan di Computers in Human Behavior. 


Mereka mengikuti 337 orang dewasa di AS yang mengidentifikasi diri sebagai bagian dari kelompok “Alt-Right”, semuanya kulit putih, pengguna aktif media sosial, dan mayoritas perempuan. 


Survei dilakukan dalam tiga tahap antara Agustus 2022 dan Maret 2023.


Peserta ditanya tentang kebiasaan mereka dalam menggunakan media sosial, penggunaan ponsel, dan sejauh mana mereka percaya bahwa mereka akan tetap terinformasi tanpa harus secara aktif mencari berita. 


Contohnya seperti pernyataan, “Saya bisa tetap tahu informasi penting meski tidak mengikuti berita” atau “Saya mengandalkan teman untuk memberi tahu saya soal berita penting.”


Hasilnya? Semakin tinggi tingkat kepercayaan seseorang bahwa berita akan sampai padanya tanpa dicari, semakin besar kemungkinan dia menyebarkan berita palsu di kemudian hari—baik sengaja maupun tidak. 


Ini menunjukkan bahwa ketika kita pasif menerima informasi dari media sosial atau teman, kita cenderung lebih gampang kecolongan berita yang salah.


Menariknya, jenis platform sosial juga berperan. Facebook dan Instagram, yang lebih menekankan interaksi sosial, mendorong pola “news will find me”. 


Sebaliknya, Reddit yang lebih fokus pada diskusi dan pencarian informasi, justru melemahkan keyakinan itu dan menurunkan potensi penyebaran hoaks.


Di sisi lain, penggunaan aplikasi seperti Telegram juga menunjukkan hubungan serupa. Fitur obrolan pribadi dan grup di Telegram membuat orang lebih percaya pada informasi dari rekan sendiri, padahal bisa saja tidak diverifikasi.


Ponsel juga punya efek serupa. Semakin sering digunakan untuk bersosialisasi, makin besar kemungkinan terbentuknya pola pikir pasif soal berita. 


Tapi sebaliknya, orang yang menggunakan ponsel untuk secara aktif mencari informasi politik justru lebih kritis dan jarang menyebar hoaks.


Studi ini mengingatkan bahwa kita hidup di zaman di mana banyak interaksi media terjadi secara otomatis—tanpa kita sadari. 


Kita lebih sering “terpapar” informasi ketimbang mencarinya secara sadar. Maka, penting untuk punya agentic mindset, yaitu kesadaran diri untuk aktif dan kritis dalam menyaring informasi, bukan sekadar mengandalkan arus media sosial.


Meski begitu, studi ini juga mengakui keterbatasannya, datanya berasal dari kelompok yang ideologisnya seragam, dan berdasarkan pelaporan diri sendiri yang bisa bias. 


Peneliti berharap studi lanjutan dengan responden yang lebih beragam bisa memberikan pemahaman yang lebih luas.


Sumber: PsyPost - Believing ‘news will find me’ is linked to sharing fake news, study finds




Post a Comment

Lebih baru Lebih lama