Ternyata, kemampuan bernavigasi itu tidak ditentukan gen atau bakat alami.
Ringkasan
- Bukan karena genetik — pengalaman pribadi jauh lebih berpengaruh.
- Tingkat kebebasan menjelajah dan lingkungan tempat tumbuh besar sangat menentukan.
- Ketergantungan pada GPS bisa bikin otak makin males kerja dan bikin kemampuan orientasi makin lemah.
PERNAH heran kenapa temanmu selalu tahu arah pulang meski baru pertama kali ke suatu tempat, sementara kamu malah muter-muter meski udah pasang GPS?
Ternyata, kemampuan bernavigasi itu nggak ditentukan gen atau bakat alami, melainkan dibentuk dari kebiasaan, pengalaman, dan gaya hidup sejak kecil!
Peneliti menyebutnya “peta mental” — semacam GPS biologis dalam kepala kita.
Cara mengetesnya simpel: bawa seseorang jalan di tempat asing (bisa nyata, bisa virtual), lalu minta dia tunjuk arah ke titik awal.
Hasilnya mencengangkan, ada yang bisa tunjuk dengan akurat, tapi banyak juga yang asal tebak.
Sebuah studi besar tahun 2020 yang menguji ribuan pasangan kembar menemukan bahwa kembaran identik tak punya kemampuan navigasi yang mirip-mirip amat.
Artinya, bukan gen yang berperan besar, tapi pengalaman unik masing-masing orang.
Game yang buka rahasia
Sebuah game mobile berjudul Sea Hero Quest yang dimainkan hampir 4 juta orang dari seluruh dunia juga membuktikan hal ini.
Pemain yang tumbuh di negara Nordik — di mana olahraga orienteering (gabungan lari lintas alam dan navigasi) populer — performanya paling bagus.
Orang yang besar di daerah kompleks atau kota dengan jalan-jalan melingkar seperti Praha juga lebih jago dibanding yang tinggal di kota berbentuk kotak-kotak seperti Chicago.
Soalnya, lingkungan yang rumit memaksa otak untuk bikin peta mental.
Stereotip bahwa laki-laki lebih jago cari arah ternyata lebih soal kesempatan menjelajah.
Di negara seperti Swedia dan Norwegia yang kesetaraan gendernya tinggi, laki-laki dan perempuan performanya setara. Tapi di wilayah yang membatasi gerak perempuan, laki-laki memang jauh lebih unggul.
Selain itu, rasa cemas dan tidak percaya diri juga memengaruhi.
Perempuan cenderung meremehkan kemampuan orientasinya sendiri meski performanya oke. Sebaliknya, laki-laki (terutama yang lebih tua) sering terlalu pede.
Ilmuwan membagi navigator ke dalam tiga kelompok:
- Punya peta mental kuat — bisa tunjuk arah bahkan di rute berbeda.
- Mengandalkan rute — cuma bisa arah dalam jalur yang sudah dikenalnya.
- Bingung total — sering nebak-nebak aja.
Yang pertama paling bisa diandalkan, apalagi saat harus cari jalan pintas atau putar balik karena jalan biasa ditutup.
Penyelamat atau pemalasan otak?
Studi menunjukkan penggunaan GPS bisa bikin kemampuan navigasi alami kita tumpul. Peneliti menemukan bahwa pengguna GPS berat performanya makin memburuk seiring waktu, bahkan tiga tahun kemudian.
Tips biar otak tetap aktif:
- Gunakan mode peta yang menghadap ke utara, bukan ke arah pergerakan.
- Zoom in dan out sesekali.
- Coba rute berbeda dari yang disarankan.
Anak-anak yang suka jalan-jalan cenderung tumbuh jadi navigator yang andal. Pengalaman itu menumbuhkan rasa percaya diri, dan siklus positif terus berulang.
Hobi seperti mendaki, bersepeda, dan main game open-world juga bisa melatih otak spasial.
Secara biologis, otak kita dilengkapi bagian khusus: hippocampus (peta mental), retrosplenial cortex (mengenali landmark tetap), dan sel grid di entorhinal cortex (mirip GPS alami).
Tapi cara kita menggunakan semua ini tergantung budaya dan pengalaman.
Bisa dilatih, asal...
Kalau kamu termasuk yang gampang nyasar, jangan khawatir. Kemampuan navigasi bisa ditingkatkan.
Caranya:
- Jalan kaki lebih jauh dari biasanya.
- Perhatikan arah matahari, angin, dan bentuk bangunan.
- Kurangi ketergantungan pada GPS.
- Biarkan dirimu “tersesat” di tempat yang aman.
Kamu tak perlu jadi atlet orienteering atau sopir taksi London, tapi membangun peta mental sendiri akan sangat berguna — apalagi saat baterai HP habis dan kamu sendirian di kota asing!
Sumber: ZME Science - Why Some People Never Get Lost — and Others Always Do
Posting Komentar