Orang Asia purba pernah melakukan migrasi paling panjang dalam sejarah manusia—menempuh lebih dari 20.000 km dari Asia Utara hingga ujung selatan Amerika Selatan dengan berjalan kaki.
Ringkasan:
- Migrasi purba ini berlangsung ribuan tahun dan melintasi benua melalui rute yang kini tak lagi ada, termasuk jembatan es.
- Migrasi panjang ini mengurangi keragaman genetik migran, berdampak pada daya tahan tubuh terhadap penyakit.
- Studi ini menunjukkan bahwa Asia justru punya keragaman genetik manusia yang jauh lebih besar dibanding Eropa.
BERJALAN kaki dari Siberia hingga ke Argentina, rasanya mustahil, tapi itulah kira-kira yang dilakukan nenek moyang manusia purba.
Dalam studi terbaru yang dipublikasikan di jurnal Science, para peneliti dari Nanyang Technological University (NTU) dan mitra internasional menunjukkan faktanya.
Orang Asia purba melakukan migrasi luar biasa sejauh lebih dari 20.000 km menuju Tierra del Fuego, Argentina. Mereka melewati daratan yang kini sudah tenggelam atau tertutup es ribuan tahun lalu.
Penelitian ini merupakan bagian dari proyek GenomeAsia100K, dan menganalisis DNA dari 1.537 orang dari 139 kelompok etnis berbeda, dengan melibatkan 48 penulis dari 22 lembaga di Asia, Eropa, dan Amerika.
Jejak genetik dan rute migrasi manusia
Dengan membandingkan pola DNA dan variasi genetik yang terakumulasi selama waktu, para ilmuwan dapat melacak rute migrasi kuno dan memprediksi kapan populasi tertentu berpindah dan terpecah.
Salah satu temuan penting: sekitar 14.000 tahun lalu, para migran mencapai wilayah yang sekarang menjadi perbatasan Panama dan Kolombia.
Dari titik itu, kelompok ini kemudian menyebar ke empat arah:
- satu tetap di Lembah Amazon,
- satu bergerak ke wilayah kering Chaco di timur,
- dua lainnya menjelajah ke selatan hingga pegunungan es Patagonia,
- dan melintasi lembah Pegunungan Andes.
Associate Professor Kim Hie Lim dari NTU menjelaskan, migrasi panjang ini membuat kelompok migran hanya membawa sebagian kecil gen dari leluhur mereka.
Akibatnya, keragaman gen, terutama gen sistem kekebalan tubuh, juga berkurang. Hal ini bisa menjelaskan kenapa beberapa komunitas pribumi Amerika lebih rentan terhadap penyakit yang dibawa penjajah Eropa.
Penelitian ini membantu menjelaskan bagaimana dinamika masa lalu bisa memengaruhi ketahanan genetik manusia saat ini.
Dr. Elena Gusareva, penulis utama studi ini, menambahkan bahwa kelompok migran ini berhasil beradaptasi di berbagai lingkungan ekstrem.
Berkat teknologi pemetaan genom resolusi tinggi di SCELSE, kini kita bisa melihat jejak sejarah migrasi manusia yang tertinggal dalam DNA mereka.
Menurut Profesor Stephan Schuster, hasil studi ini menantang asumsi lama bahwa Eropa adalah pusat keragaman genetik. Faktanya, Asia punya variasi genetik manusia yang jauh lebih besar.
Temuan ini penting dalam pengembangan pengobatan berbasis genom, kesehatan masyarakat, dan pemahaman tentang evolusi manusia.
Selain memperkaya wawasan tentang sejarah manusia, studi ini juga membantu memahami respons genetik terhadap penyakit dan penting untuk merancang kebijakan pelestarian komunitas adat.
Sumber: Science Daily - Asians made humanity's longest prehistoric migration and shaped the genetic landscape in the Americas
Posting Komentar