Bagi sebagian pasien, pengangkatan jaringan otak dapat membantu mengobati OCD dan gangguan lainnya. Namun, masih ada masalah etika.

Ringkasan:
- Neurosurgery psikiatrik kini jadi harapan baru untuk pasien OCD parah yang tak mempan terapi biasa, berkat teknologi seperti laser dan ultrasound.
- Risiko tetap ada, dari gangguan memori hingga kematian, namun tingkat akurasi dan keamanan prosedur jauh lebih baik dibanding lobotomi masa lalu.
- Stigma dan minimnya data masih jadi penghambat, tapi para dokter optimis: bagi pasien yang tepat, prosedur ini bisa menyelamatkan hidup.
BAYANGKAN hidup 25 tahun dengan pikiran yang terus-menerus membisikkan hal buruk.
Seorang pengacara di AS hidup seperti itu—menghabiskan hingga 17 jam sehari memeriksa mobilnya karena takut telah menabrak seseorang, meskipun tak ada bukti.
Obsessive-Compulsive Disorder (OCD) menguasai hidupnya. Terapi, obat, bahkan perawatan intensif gagal membantu. Sampai akhirnya, ia menjalani operasi otak. Ya, operasi otak.
Terdengar gila? Justru di sanalah letak ironi sekaligus revolusinya.
Dari Lobotomi ke Laser
Di masa lalu, "psikosurgery" alias operasi otak untuk gangguan kejiwaan adalah ladang penuh tragedi.
Lobotomi frontal—dikenalkan oleh António Egas Moniz pada 1930-an—dilakukan dengan menusukkan alat ke belakang bola mata. Sekitar 60.000 orang di AS mengalaminya, dengan hasil campur aduk dan banyak kerusakan permanen.
Walaupun Moniz dapat Nobel, praktik ini kemudian dianggap barbar dan ditinggalkan.
Tapi kini, sains sudah melangkah jauh. Versi modern dari psikosurgery—yang sekarang disebut “neurosurgery psikiatrik”—menggunakan teknik yang jauh lebih presisi, seperti laser thermal (LITT), ultrasound fokus, hingga pisau gamma.
Tujuannya? Menghancurkan jaringan otak yang memicu gejala OCD, depresi berat, atau kecemasan yang kebal terhadap pengobatan.
Contohnya adalah capsulotomy—prosedur di mana bagian kecil otak dibakar dengan laser untuk memutus sirkuit yang menyebabkan obsesi dan kompulsi.
Inilah yang dijalani oleh sang pengacara. Setelah operasi, ia masih menyadari pikirannya yang berulang, tapi tak lagi merasa cemas. “Itu keajaiban,” katanya.
Harapan untuk Segelintir, tapi Tidak Sembarangan
Saat ini, hanya sedikit rumah sakit di dunia yang menyediakan layanan ini. Di AS, misalnya, program milik Brown University telah menangani sekitar 110 pasien sejak 1993.
Kandidat pasien di Brown University pun sangat selektif: harus didiagnosis OCD parah, telah menjalani berbagai terapi tanpa hasil, dan benar-benar siap menanggung risikonya.
Karena, walaupun hasilnya menjanjikan, risikonya tetap nyata: pendarahan otak, kehilangan motivasi, gangguan memori, bahkan kematian. Satu pasien yang mengalami kista setelah operasi dengan pisau gamma akhirnya meninggal dunia.
Masalah lainnya: minimnya data ilmiah yang kuat. Studi skala besar dan uji klinis acak (randomized controlled trials/RCT) masih sangat sedikit, karena mahal, kompleks, dan penuh tantangan etis.
Bahkan RCT pertama untuk capsulotomy baru dilakukan lebih dari 10 tahun lalu dengan jumlah pasien hanya 16.
Tetapi, para ahli tetap optimis. Data kecil yang ada menunjukkan bahwa 50–60% pasien OCD mengalami perbaikan setelah capsulotomy dalam waktu satu tahun.
“Transformasi yang luar biasa,” kata Dr. Nir Lipsman, ahli bedah saraf dari Toronto.
Stigma Lama, Teknologi Baru
Sayangnya, dunia psikiatri masih dihantui oleh bayang-bayang lobotomi. Banyak dokter enggan merujuk pasien karena takut dianggap "mengulang sejarah gelap." Bahkan di Jepang, operasi ini dilarang sejak 1975.
Namun para pendukung teknik ini menekankan bahwa kita tidak sedang kembali ke masa kelam. “Ini bukan sembarang membakar otak,” kata Dr. Nicole McLaughlin dari Brown University.
Dengan teknologi imaging mutakhir, area otak yang ditargetkan kini bisa ditentukan dengan sangat akurat—mengurangi kerusakan dan efek samping.
Tentu saja, masih banyak PR: registri internasional pasien, lebih banyak uji coba, dan edukasi publik. Tapi satu hal jelas: bagi sebagian kecil pasien yang telah mencoba segalanya, prosedur ini bisa jadi penyelamat hidup.
Sang pengacara kini bisa merawat anaknya yang baru lahir tanpa dibayangi obsesi gelap. “Aku berharap anakku tak akan ingat betapa buruk kondisiku dulu,” ujarnya.
Dan bukankah itu yang kita cari dari sains? Bukan keajaiban, tapi kemungkinan yang nyata.***
Sumber: Disadur dari Undark - "Cutting Edge: The Cautious Optimism for Psychiatric Brain Surgery"
إرسال تعليق