Alasan Kita Bisa Mendadak Berenergi di Malam Hari, bahkan Bikin Sulit Tidur

Gelombang energi kedua itu merupakan bagian normal dari ritme sirkadian manusia. Lantas, apa yang terjadi sebenarnya?


Gelombang energi kedua itu merupakan bagian normal dari ritme sirkadian manusia. Lantas, apa yang terjadi sebenarnya?    Foto Ilustrasi: drobotdean/FreepikFoto Ilustrasi: drobotdean/Freepik


Ringkasan:

  • 'Second wind' malam hari adalah bagian normal dari ritme sirkadian, terjadi karena otak belum menerima sinyal penuh untuk tidur.
  • Gaya hidup seperti stres, kerja lembur, dan penggunaan layar sebelum tidur memperparah efeknya, membuat kita makin sulit tidur.
  • Solusinya? Atur jadwal tidur tetap, batasi cahaya malam, dan manfaatkan energi malam dengan bijak, bukan dilawan mentah-mentah.


PERNAH merasa tiba-tiba semangat dan berenergi saat malam, justru ketika seharusnya tubuh mulai lelah dan bersiap tidur? 


Fenomena ini sering disebut sebagai 'second wind' — embusan energi kedua — dan ternyata, itu bukan hal aneh. Ini bagian dari ritme alami tubuh kita.


Menurut para ahli, fenomena ini dipengaruhi oleh ritme sirkadian, yakni siklus biologis sekitar 24 jam yang mengatur kapan kita merasa mengantuk atau segar. 


Ritme ini dikendalikan oleh hipotalamus, bagian dari otak yang mengatur tidur, suhu tubuh, dan hormon.


Setelah matahari terbenam, tubuh memasuki fase yang disebut 'wake maintenance zona' atau “zona jaga malam.”


Itu adalah waktu ketika sinyal-sinyal kewaspadaan tetap tinggi, sementara hormon tidur seperti melatonin belum sepenuhnya aktif. Inilah yang membuat kita merasa tiba-tiba berenergi, meski sudah seharian lelah.


“Secara evolusioner, dorongan energi ini bisa jadi membantu nenek moyang kita menyelesaikan tugas penting seperti menyiapkan makanan malam atau memastikan tempat tidur aman.”


Demikian Roxanne Prichard, profesor psikologi dan ahli saraf dari University of St. Thomas jelaskan seperti dikutip dari Live Science.


Durasi zona ini berbeda-beda tiap orang. Tipe malam (night owls) cenderung memiliki zona jaga yang lebih panjang dibandingkan tipe pagi (morning larks) yang lebih mudah merasa mengantuk lebih awal.


Namun, bukan hanya ritme tubuh yang berperan. Gaya hidup dan kondisi mental ikut memperbesar efek second wind. Misalnya:

  • Kecemasan, kerja lembur, dan bermain media sosial malam hari bisa memicu hormon stres seperti kortisol dan adrenalin, yang meningkatkan kewaspadaan.
  • Paparan cahaya biru dari layar gawai bisa menghambat produksi melatonin dan mengelabui otak agar berpikir masih siang.
  • Ada pula yang mengalami “revenge bedtime procrastination”, yakni kebiasaan menunda tidur demi menikmati waktu pribadi setelah hari yang sibuk — sering kali dengan aktivitas yang justru makin merangsang otak.


Dr. Chris Allen, dokter spesialis tidur dari Aeroflow Sleep, menekankan pentingnya mengelola kebiasaan sebelum tidur. 


“Tidur dan bangun pada jam yang sama setiap hari membantu tubuh menyesuaikan ritmenya dan mengurangi efek second wind,” ujar Allen.


Namun, jika dorongan energi malam datang juga, Prichard menyarankan untuk tidak melawannya secara frontal. 


"Gunakan energi itu untuk menyelesaikan hal-hal ringan, olahraga ringan, atau menghadapi stres dengan produktif. Ini bisa membantu tidur lebih nyenyak nantinya," katanya.


Cukup penting pula untuk menjaga pencahayaan tetap lembut dan hangat selama aktivitas malam. 


Beberapa studi kecil menunjukkan bahwa cahaya merah cenderung lebih ramah terhadap melatonin dibanding cahaya biru, meski penelitian lebih besar masih dibutuhkan.


Jika second wind terus mengganggu tidur, konsultasi dengan dokter atau spesialis tidur bisa jadi langkah bijak. Terapi insomnia bisa membantu mengembalikan siklus tidur yang sehat.***


Sumber: Disadur dari Live Science, "Why do we get a 'second wind' of energy at the end of the day?"


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama