Bukan Soal Teknologinya, Banyak Perusahaan Gagal Manfaatkan Potensi AI

Sebagian besar perusahaan gagal memanfaatkan potensi AI karena kurangnya pemahaman tentang reaksi emosional dan perilaku karyawan terhadap teknologi baru.


Sebagian besar perusahaan gagal memanfaatkan potensi AI karena kurangnya pemahaman tentang reaksi emosional dan perilaku karyawan terhadap teknologi baru.    Foto Ilustrasi: cottonbro studio/Pexels
Foto Ilustrasi: cottonbro studio/Pexels


Ringkasan:

  • Penelitian menunjukkan bahwa 80 persen perusahaan melaporkan kegagalan dalam memanfaatkan AI.
  • Keberhasilan adopsi AI tidak hanya bergantung pada teknologi.
  • Perusahaan harus mengembangkan strategi yang berfokus pada kebutuhan karyawan.


ngarahNyaho - Menurut peneliti dari Universitas Aalto,Finlania, empat dari lima perusahaan gagal memanfaatkan potensi AI. Bukan masalah teknologinya, alasan utamanya soal pemahaman tentang emosi karyawannya. 


Menurut penelitian, AI berpotensi untuk meningkatkan pengambilan keputusan, memicu inovasi, dan membantu para pemimpin meningkatkan produktivitas karyawan. 


Nyatanya, banyak perusahaan besar telah berinvestasi sesuai dengan itu, dalam bentuk pendanaan dan upaya. 


Namun, meskipun demikian, penelitian menunjukkan bahwa mereka gagal mencapai manfaat yang diharapkan, dengan sebanyak 80 persen perusahaan melaporkan kegagalan untuk memanfaatkan teknologi baru tersebut.


"Sering kali karyawan gagal merangkul AI baru dan memperoleh manfaat darinya, tetapi kami tidak benar-benar tahu mengapa," kata Asisten Profesor Natalia Vuori dari Universitas Aalto. 


Pemahaman kami yang terbatas sebagian berasal dari kecenderungan untuk mempelajari kegagalan ini sebagai keterbatasan teknologi itu sendiri, atau dari perspektif penilaian kognitif pengguna tentang kinerja AI, katanya.


"Yang kami pelajari adalah bahwa kesuksesan tidak terlalu bergantung pada teknologi dan kemampuannya, tetapi pada reaksi emosional dan perilaku yang berbeda yang dikembangkan karyawan terhadap AI ... 


"... dan bagaimana para pemimpin dapat mengelola reaksi ini," kata Vuori,eperti ikutip dari Science Daily.


Tim penelitinya mengikuti sebuah perusahaan konsultan yang beranggotakan 600 karyawan selama lebih dari setahun saat perusahaan tersebut mencoba mengembangkan dan menerapkan penggunaan alat kecerdasan buatan baru. 


Alat tersebut seharusnya mengumpulkan jejak digital karyawan dan memetakan keterampilan dan kemampuan mereka, yang pada akhirnya membangun peta kemampuan perusahaan. 


Hasilnya seharusnya menyederhanakan proses pemilihan tim untuk proyek konsultasi, dan seluruh eksperimen tersebut, pada kenyataannya, merupakan uji coba untuk perangkat lunak AI yang mereka harapkan dapat ditawarkan kepada pelanggan mereka sendiri.


Setelah hampir dua tahun, perusahaan tersebut mengubur eksperimen tersebut -- dan produk yang diusulkan. Jadi apa yang terjadi?


Ternyata, meskipun beberapa staf percaya bahwa alat tersebut bekerja dengan baik dan sangat berharga, mereka tidak merasa nyaman dengan AI yang mengikuti catatan kalender, komunikasi internal, dan urusan sehari-hari mereka. 


Akibatnya, karyawan berhenti memberikan informasi sama sekali, atau mereka mulai memanipulasi sistem dengan memberinya informasi yang mereka pikir akan menguntungkan jalur karier mereka. 


Hal ini menyebabkan AI menjadi semakin tidak akurat dalam output-nya, yang memicu lingkaran setan karena pengguna mulai kehilangan kepercayaan pada kemampuannya.


"Para pemimpin tidak dapat memahami mengapa penggunaan AI menurun," kata Vuori.


"Mereka mengambil banyak tindakan untuk mempromosikan alat dan sebagainya, mencoba menjelaskan bagaimana mereka menggunakan data, tetapi itu tidak membantu."


Vuori percaya bahwa studi kasus ini mencerminkan pola umum dalam hal penerimaan AI, dan adopsi teknologi secara umum.


Tim tersebut sekarang mengumpulkan data tentang penggunaan perangkat lunak AI Copilot milik Microsoft yang banyak digunakan, yang sejauh ini menghasilkan temuan serupa.


Hasil studi


Para peneliti menemukan bahwa orang-orang terbagi dalam empat kelompok yang sama dalam hal reaksi mereka terhadap teknologi baru. 


Membedakan antara kepercayaan kognitif; apakah seseorang percaya teknologi tersebut bekerja dengan baik, dan kepercayaan emosional; perasaan mereka terhadap sistem.


Kelompok-kelompok tersebut adalah: 

  • kepercayaan penuh, 
  • ketidakpercayaan penuh, 
  • kepercayaan tidak nyaman, 
  • dan kepercayaan buta.


Orang-orang di kelompok pertama memiliki kepercayaan tinggi baik pada tingkat kognitif maupun emosional, sedangkan orang-orang di kelompok kedua mendapat skor rendah pada keduanya. 


Kepercayaan yang tidak nyaman menandakan kepercayaan kognitif yang tinggi tetapi kepercayaan emosional yang rendah, dan sebaliknya untuk kepercayaan buta.


Semakin sedikit orang mempercayai alat tersebut secara emosional, semakin mereka membatasi, menarik, atau memanipulasi jejak digital mereka, dan khususnya perlu dicatat bahwa hal ini berlaku bahkan jika mereka memiliki kepercayaan kognitif terhadap teknologi tersebut.


Temuan tersebut memberi perusahaan kesempatan untuk menyusun strategi pendekatan yang lebih berhasil terhadap penggunaan AI. 


"Adopsi AI bukan sekadar tantangan teknologi -- ini adalah tantangan kepemimpinan. 


"Keberhasilan bergantung pada pemahaman kepercayaan dan penanganan emosi, serta membuat karyawan merasa bersemangat untuk menggunakan dan bereksperimen dengan AI," kata Vuori. 


"Tanpa pendekatan yang berpusat pada manusia ini, dan strategi yang disesuaikan untuk memenuhi kebutuhan setiap kelompok, bahkan AI terpintar pun akan gagal mencapai potensinya."


Temuan penelitian tersebut dipublikasikan dalam Journal of Management Studies pada tanggal 22 Januari 2025. |Sumber: Science Daily 


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama