Selama lebih dari satu abad, Portugal ternyata menggunakan makanan sebagai alat diplomasi yang halus namun ampuh
Menu “Makan Siang untuk menghormati Yang Mulia Ratu Elizabeth II dan Yang Mulia Duke of Edinburgh” yang diadakan di Alcobaça, Portugal, pada tanggal 20 Februari 1957. Foto: Cabral et al.Ringkasan
- Makanan digunakan Portugal untuk membangun citra, pesan politik, dan memperkuat hubungan luar negeri.
- Menu diplomatik berubah mengikuti kondisi geopolitik: dari gaya Prancis ke promosi produk lokal.
- Penelitian 457 menu menunjukkan makanan dapat membentuk, merawat, bahkan menguji aliansi antarnegara.
MAKANAN tidak pernah sekadar makanan—setidaknya bagi diplomasi Portugal.
Dalam penelitian terbaru yang dipublikasikan di Frontiers in Political Science, para peneliti menelusuri 457 menu jamuan diplomatik dari tahun 1910 hingga 2023.
Hasilnya menunjukkan bahwa setiap hidangan, dari sup hingga makanan penutup, dapat membawa pesan politik yang halus namun mengena.
Menurut penulis utama, Óscar Cabral dari Basque Culinary Center, jamuan kenegaraan bukan sekadar acara makan-makan. “Hidangan-hidangan itu memainkan peran penting sebagai institusi diplomatik,” katanya.
Dalam kata lain, sepiring makanan bisa menjadi negosiator kedua di meja perundingan. Menu bisa dirancang untuk menonjolkan identitas nasional, menciptakan suasana akrab antarbudaya, atau bahkan memberi sinyal politik tertentu.
Contohnya datang dari COP25 di Madrid, ketika nama-nama hidangan sengaja dibuat provokatif, seperti "Warm seas. Eating imbalance" atau "Urgent. Minimize animal protein."
Ini jelas bukan sekadar menu cantik—itu adalah pernyataan sikap tentang krisis iklim.
Penelitian ini juga memperlihatkan pergeseran gaya kuliner yang selaras dengan perubahan geopolitik.
1. Awal abad ke-20: Jamuan mewah 9–10 hidangan ala Prancis jadi standar. Portugal masih mengikuti prestige kuliner Eropa.
2. Era Estado Novo (1950–1962): Mulai muncul dorongan memperlihatkan identitas nasional lewat makanan, sebuah gastronationalism. Contoh pamornya adalah “regional lunch” untuk Ratu Elizabeth II pada 1957, dengan lobster Peniche dan tart buah Alcobaça.
3. 1960–1970-an: Menu makin eksperimental. Ada sup kura-kura untuk Pangeran Philip (1973) atau trout dari Azores untuk presiden AS dan Prancis (1971). Tapi krisis energi dan ekonomi membuat bahan lokal kembali diutamakan.
4. Pasca-kemerdekaan koloni: Portugal menghapus bahasa kolonial dalam menu. Kopi, misalnya, hanya ditulis "coffee" tanpa menyebut asal negara—sebuah penyesuaian identitas kuliner.
Tim peneliti mengelompokkan tujuan jamuan diplomatik menjadi lima:
- Taktis – terkait transfer wilayah atau negosiasi penting.
- Geopolitik – mengukuhkan aliansi.
- Ekonomi – mempererat hubungan dagang dan finansial.
- Ilmiah-budaya-pembangunan – menonjolkan minat dan kerja sama bilateral.
- Kedekatan kultural – terutama dengan negara berbahasa Portugis, lewat hidangan seperti Cozido à Portuguesa atau resep ikan cod.
Semakin jelas bahwa makanan bisa jadi jembatan persahabatan ataupun penegasan identitas.
Beberapa hidangan bahkan punya makna rumit. Contohnya, Roast beef untuk Presiden India pada 1990, yang menuai tanda tanya karena sensitivitas budaya.
Kemudian ada Consommé de presunto de Barrancos untuk Raja Felipe VI (2016), sup ala Prancis yang memakai ham Portugal, sebuah “tantangan gastronomi” yang bermain-main dengan identitas kuliner dua negara pecinta ham.
Cabral menyebutnya sebagai gestur unik yang menunjukkan diplomasi lewat kreativitas rasa.
Menurut tim, memasukkan gastronomi ke strategi institusi negara penting untuk membentuk persepsi global tentang budaya Portugal. Makanan, dalam hal ini, bekerja layaknya soft power, lembut, tidak mengancam, namun punya pengaruh kuat.
Disadur dari EurekAlert.
إرسال تعليق