Pengaruhi Otak Anak, Ketimpangan Ekonomi Bukan Sekadar Statistik

Studi menunjukkan, kesenjangan ekonomi dapat berdampak pada ukuran, ketebalan, dan cara otak berkomunikasi antarjaringan, ujungnya pengaruhi kesehatan mental di masa depan.


Studi menunjukkan, kesenjangan ekonomi dapat berdampak pada ukuran, ketebalan, dan cara otak berkomunikasi antarjaringan, ujungnya pengaruhi kesehatan mental di masa depan.Ilustrasi: Freepik


Ringkasan

  • Anak-anak di daerah dengan ketimpangan pendapatan tinggi memiliki bagian otak yang lebih tipis dan kecil.
  • Perubahan komunikasi antarjaringan otak berkaitan dengan risiko gangguan suasana hati, perhatian, dan perilaku.
  • Efek ini tetap ada meski faktor ekonomi keluarga dikontrol, menunjukkan pengaruh unik dari ketimpangan sosial.


SEBUAH studi baru di Nature Mental Health menemukan bahwa anak-anak yang tumbuh di wilayah dengan ketimpangan pendapatan tinggi menunjukkan perbedaan nyata pada struktur dan fungsi otak mereka. 


Masa remaja adalah periode penting di mana otak berkembang sangat cepat, sekaligus masa paling rentan terhadap gangguan mental


Selama ini, penelitian sering fokus pada bagaimana pendapatan atau pendidikan orang tua memengaruhi perkembangan anak. 


Namun studi baru oleh Jean-Pierre Eckmann dan Tsvi Tlusty dari University of Geneva serta UNIST justru menyoroti faktor yang lebih luas, yakni ketimpangan pendapatan antarwilayah.


Dengan menggunakan data dari Adolescent Brain Cognitive Development Study, peneliti menganalisis lebih dari 8.000 anak berusia 9–10 tahun dari 17 negara bagian di AS. 


Mereka menilai pemindaian otak dan kondisi psikologis anak-anak itu, lalu membandingkannya dengan tingkat ketimpangan pendapatan tiap negara bagian.


Pengukuran pendapatan menggunakan koefisien Gini, yakni alat standar untuk menilai seberapa merata distribusi pendapatan dalam suatu populasi.


Hasilnya cukup mengejutkan. Anak-anak yang tinggal di wilayah dengan tingkat ketimpangan lebih tinggi cenderung memiliki volume otak yang lebih kecil dan permukaan korteks yang lebih tipis.


Hal itu terutama di area yang berhubungan dengan pengambilan keputusan, regulasi emosi, dan perhatian. 


Lebih jauh, komunikasi antarjaringan utama otak mereka juga berbeda, terutama antara default mode network (yang aktif saat pikiran melayang) dan dorsal attention network (yang fokus pada tugas luar).


Efek ini bukan hanya soal kemiskinan. Bahkan setelah memperhitungkan pendapatan keluarga, pendidikan orang tua, dan kebijakan negara bagian seperti Medicaid, pengaruh ketimpangan tetap nyata. 


Artinya, bukan sekadar seberapa kaya atau miskin seseorang, tapi seberapa besar jarak antara kaya dan miskin di lingkungan mereka yang tampaknya menekan sistem saraf anak.


Menurut Divyangana Rakesh, dosen di King’s College London, “Temuan ini menunjukkan bahwa karakteristik struktural masyarakat dapat ‘masuk ke bawah kulit’ dan memengaruhi perkembangan otak anak.”


Dampaknya tidak berhenti di situ. Dalam tindak lanjut 6 hingga 18 bulan kemudian, anak-anak dari daerah dengan ketimpangan tinggi menunjukkan gejala mental yang lebih banyak, seperti gangguan perhatian, mood, dan perilaku. 


Ini memperkuat dugaan bahwa perubahan pada struktur dan fungsi otak dapat menjadi jalur biologis antara kondisi sosial dan kesehatan mental.


Profesor Kate Pickett dari University of York menegaskan:

 

“Mengurangi ketimpangan bukan hanya soal ekonomi, tapi juga kesehatan publik. Otak anak-anak di lingkungan yang timpang berkembang dalam atmosfer sosial yang toksik.”


Meski demikian, studi ini bersifat korelasional, bukan bukti sebab-akibat. Masih diperlukan penelitian lanjutan, terutama untuk memahami bagaimana stres sosial dan faktor lingkungan lain bekerja pada level biologis.


Namun satu hal sudah jelas, ketimpangan ekonomi bukan hanya soal angka di laporan keuangan — tapi juga tentang masa depan mental generasi berikutnya.


Disadur dari PsyPost.


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama