Pendiri Google DeepMind Demis Hassabis memperingatkan industri AI tengah mengalami gelembung investasi berisiko tinggi menjelang akhir 2025.
Ringkasan
- Demis Hassabis menilai sebagian industri AI menunjukkan tanda-tanda gelembung spekulatif.
- Pasar mulai gelisah: investor besar menarik dana dari perusahaan AI seperti Nvidia.
- Meski berisiko, peluang bisnis baru di AI tetap besar dan terus berkembang.
PERCAKAPAN soal “gelembung AI” kembali menghangat setelah Demis Hassabis, CEO dan salah satu pendiri Google DeepMind, ikut melemparkan peringatan keras.
Dalam wawancara dengan podcast 'Hard Fork', Hassabis menilai ada bagian tertentu dari industri AI yang sudah menunjukkan tanda-tanda gelembung, bahkan menjelang peluncuran model baru Google yang sangat dinanti, Gemini 3.
Ketika ditanya apakah industri AI benar-benar berada dalam fase gelembung, Hassabis tidak memberikan jawaban hitam-putih.
Ia menyebut beberapa segmen memang tampak tidak realistis, terutama jika melihat putaran pendanaan tahap awal yang bisa mencapai nilai puluhan miliar dolar untuk perusahaan yang bahkan belum menghasilkan produk matang.
“Itu mungkin tanda pertama dari semacam gelembung,” kata Hassabis, seperti dikutip New Atlas.
Peringatan senada datang dari Sundar Pichai, CEO Alphabet. Dalam wawancara terpisah dengan BBC, ia mengakui bahwa tak ada perusahaan yang benar-benar kebal, termasuk Google dan DeepMind sendiri, jika kelak terjadi pengetatan pasar.
Pichai menyebut kondisi sekarang sebagai momen “luar biasa”, tetapi juga menyinggung adanya “irrasionalitas” yang mengingatkan pada euforia era dot-com akhir 1990-an.
Meski demikian, Hassabis tidak hanya fokus pada ancaman. Ia menilai ada banyak peluang baru yang bisa menjadi bisnis besar di masa depan, mulai dari aplikasi Gemini, NotebookLM, hingga robotika, gaming, dan penemuan obat melalui Isomorphic Labs.
Ia bahkan optimistis bahwa setengah lusin hingga satu lusin bidang baru dapat berkembang menjadi bisnis ratusan miliar dolar dalam beberapa tahun mendatang.
Optimisme ini hadir di tengah kenyataan bahwa banyak perusahaan AI masih merugi besar. OpenAI, misalnya, dilaporkan mengalami kerugian hingga US$14 miliar hanya dalam satu kuartal tahun ini.
Namun menurut Hassabis, integrasi AI ke produk harian Google yang digunakan miliaran orang dapat memberi keuntungan jangka pendek sambil tetap berinvestasi di masa depan.
Namun pasar mulai menunjukkan kegelisahan. Nvidia, perusahaan semikonduktor yang menjadi tulang punggung ledakan AI, mengalami penarikan investasi dari nama besar seperti Peter Thiel.
Investor terkenal Michael Burry, yang sebelumnya memprediksi krisis subprime 2007, juga mulai bertaruh terhadap saham Nvidia dan Palantir.
Kondisi ini memunculkan kekhawatiran bahwa valuasi raksasa seperti Alphabet (US$3,5 triliun), OpenAI (US$500 miliar), dan Nvidia (lebih dari US$5 triliun) mungkin tak sepenuhnya sejalan dengan kondisi fundamental saat ini.
Ekonom Gita Gopinath, mantan kepala ekonom IMF, bahkan memperingatkan bahwa pecahnya gelembung AI bisa menghapus sekitar US$20 triliun kekayaan rumah tangga AS dan US$15 triliun dari investor global, skenario yang mengingatkan pada tahun 2000.
Namun, seperti internet pasca-kejatuhan dot-com, industri AI diperkirakan akan bertahan, lebih kuat dan lebih masuk akal setelah fase spekulatif mereda.
Hassabis sendiri kini berada di puncak kariernya. Pada 2024, ia dan John Jumper dari DeepMind meraih Nobel Kimia berkat pengembangan AlphaFold, sistem AI yang memprediksi struktur protein.
Belum lama ini, Nature merilis laporan mendalam tentang masa depan DeepMind dan fokus mereka pada riset ilmiah yang lebih stabil dibanding rente spekulatif pasar.
Dengan peluncuran Gemini 3 yang mulai digulirkan secara bertahap di AS, perdebatan soal masa depan industri AI dipastikan belum akan berhenti—antara peluang besar dan potensi ledakan gelembung yang bisa mengubah lanskap teknologi global.
Disadur dari New Atlas.

Posting Komentar