Kotoran telinga atau earwax, yang sering dianggap menjijikkan dan buru-buru dibersihkan, sebenarnya bisa jadi “rapor kesehatan” tubuh kita.
Ringkasan
- Warna earwax bisa menandakan infeksi atau cedera pada telinga.
- Bau earwax berhubungan dengan penyakit metabolik hingga Parkinson.
- Tekstur earwax terkait gen tertentu, meski kaitannya dengan kanker masih kontroversial.
WARNA, bau, hingga teksturnya, earwax menyimpan petunjuk tentang kebersihan, infeksi, bahkan kemungkinan penyakit serius dalam tubuh kita.
Pada dasarnya, warna earwax normal berkisar dari kuning pucat hingga cokelat tua, semakin gelap seiring usia karena menumpuk kotoran dan bakteri.
Tapi, ada warna yang perlu diwaspadai menurut Cleveland Clinic:
- Earwax hijau bisa menandakan infeksi telinga;
- hitam sering muncul akibat sumbatan;
- cokelat dengan bercak merah mungkin menunjukkan cedera di saluran telinga;
- sementara kotoran bercampur nanah bisa mengindikasikan gendang telinga pecah.
Selain warna, aroma earwax juga jadi penanda. Pada kasus langka Maple Syrup Urine Disease (MSUD), earwax bayi baru lahir beraroma manis seperti sirup maple.
Jangan terkecoh, menurut BBC Future, itu merupakan tanda kelainan metabolik serius yang bisa fatal jika tak segera ditangani.
Lebih mengejutkan lagi, penelitian dari Zhejiang University menunjukkan bahwa bau khas earwax dapat membantu mendeteksi Parkinson dengan akurasi hingga 94%.
Fenomena ini terinspirasi dari Joy Milne, seorang mantan perawat Inggris yang terkenal bisa “mencium” penyakit tersebut.
Earwax juga punya dua tipe, yakni kering dan basah. Perbedaan ini dipengaruhi oleh gen ABCC11.
Studi dari Jepang sempat mengaitkan tipe basah dengan risiko kanker payudara, sehingga earwax dipandang sebagai “petunjuk genetik”.
Namun, penelitian lanjutan pada 2011 tidak menemukan hubungan langsung antara tipe earwax dengan risiko kanker (FASEB Journal, 2009; Breast Cancer Research, 2011).
Meski begitu, gen ABCC11 tetap menarik karena juga terkait bau badan dan metabolisme.
Dibanding darah yang cenderung larut air, earwax kaya lipid sehingga menyimpan jejak metabolisme lebih lama.
Menurut Perdita Barran, profesor kimia di University of Manchester, lipid dalam earwax ibarat “kanari di tambang batu bara”—molekul yang paling cepat berubah saat ada masalah kesehatan.
Penelitian tahun 2019 bahkan berhasil membedakan dengan akurasi sempurna antara sampel earwax penderita kanker dan orang sehat, meski jenis kankernya belum bisa diidentifikasi (Antoniosi Filho, Federal University of Goiás).
Ini membuka peluang besar diagnosis dini—penting karena kanker stadium awal punya tingkat kesembuhan hingga 90%.
Jangan Asal Bersihkan
Meski bisa jadi “alat diagnostik alami”, earwax tetap punya fungsi utama: melindungi telinga dari kotoran, air, dan bakteri.
Karena itu, ahli kesehatan telinga melarang penggunaan cotton bud yang justru bisa mendorong kotoran makin dalam.
Tubuh kita sudah punya mekanisme alami untuk membersihkannya sendiri. Jadi, mungkin lebih baik biarkan saja telinga melakukan tugasnya.
Disadur dari IFL Science.

Posting Komentar