Apakah ancaman dan hukuman benar-benar efektif menghentikan perilaku itu?
Ringkasan
- Remaja lebih menghargai peringatan orang tua jika sikap dan perilaku mereka sesuai dengan nilai yang diajarkan.
- Ancaman dan hukuman tanpa empati cenderung membuat remaja makin membangkang.
- Mendengarkan perspektif remaja dan menunjukkan empati terbukti lebih efektif menghentikan perilaku berisiko.
SEBUAH penelitian melibatkan 105 remaja berusia rata-rata 15 tahun yang dalam sebulan terakhir mengaku pernah melanggar aturan, mulai dari minum alkohol, bolos sekolah, hingga pulang larut malam.
Para peneliti meneliti bagaimana respons orang tua setelahnya dan bagaimana remaja merespons peringatan tersebut.
Hasilnya cukup jelas, remaja lebih menerima peringatan bila mereka menilai orang tuanya benar-benar menjalankan nilai yang mereka ajarkan.
Jika orang tua menekankan pentingnya kejujuran, misalnya, tetapi di sisi lain sering berbohong, maka peringatan soal berbohong kehilangan makna.
Menurut Judith Smetana, psikolog dari University of Rochester, konsistensi antara ucapan dan tindakan orang tua sangat penting. “Orang tua benar-benar harus ‘walk the walk’ kalau ingin remajanya berperilaku bertanggung jawab,” jelasnya.
Namun, menjadi teladan saja ternyata belum cukup.
Penelitian yang dipimpin Dr. Avi Assor dari Ben-Gurion University menunjukkan bahwa meskipun remaja melihat orang tua sebagai figur yang konsisten, mereka tetap merasa frustrasi jika peringatan disampaikan tanpa empati.
Ancaman semata dianggap dingin dan tidak peka terhadap kebutuhan psikologis mereka.
Kunci sebenarnya ada pada listening skills. Ketika orang tua benar-benar berusaha mendengarkan perspektif remaja, bukan sekadar menegakkan aturan, maka remaja lebih merasa didukung ketimbang dikontrol.
Temuan ini sejalan dengan self-determination theory dalam psikologi, yang menyebutkan bahwa manusia termotivasi ketika tiga kebutuhan terpenuhi:
- Autonomy – merasa punya kendali atas pilihan sendiri.
- Competence – merasa mampu.
- Relatedness – merasa dihargai dan terhubung dengan orang lain.
Jika orang tua menghormati kebutuhan ini, terutama otonomi, maka remaja lebih mudah bekerja sama. Sebaliknya, jika kebutuhan ini diabaikan, remaja cenderung merasa ditekan dan justru melawan.
Mendidik remaja bukan berarti membiarkan mereka bebas tanpa aturan. Namun cara menyampaikan aturan sangat berpengaruh.
Alih-alih hanya berkata, “Kamu salah, jadi hukumannya ponsel disita,” akan lebih efektif bila disampaikan dengan empati: “Aku kecewa dengan apa yang kamu lakukan, tapi aku ingin tahu kenapa kamu melakukannya.”
Dengan begitu, peringatan terdengar sebagai bentuk perlindungan, bukan kontrol. Hasil akhirnya, remaja lebih mungkin merefleksikan kesalahannya dan memperbaiki diri.
Penelitian lengkap ini dipublikasikan di Journal of Youth and Adolescence.
Disadur dari Earth.com.

Posting Komentar