Sekitar 38% berada dalam “zona berisiko tinggi” yang memperbesar kemungkinan keruntuhan ekologi.
Ringkasan
- Sekitar 60% daratan Bumi sudah menanggung beban lebih berat dari daya dukung alam.
- 38% daratan masuk kategori berisiko tinggi mengalami kerusakan ekosistem.
- Penyebab utamanya adalah pertanian intensif, deforestasi, dan perubahan iklim.
BAYANGKAN Bumi sebagai pasien rumah sakit. Studi terbaru para peneliti ini adalah semacam pemeriksaan kesehatan menyeluruh—bukan sekadar cek suhu, tapi juga MRI lengkap.
Pertanyaannya sederhana tapi menohok, seberapa banyak wilayah di Bumi yang masih berada dalam 'ruang aman alam' bagi kehidupan?
Jawabannya cukup mengkhawatirkan. Konsep “planetary boundaries” atau batas planet yang dipopulerkan oleh ilmuwan dari Stockholm Resilience Centre membagi sistem lingkungan Bumi ke dalam sembilan kategori penting.
Di antaranya, stabilitas iklim, keanekaragaman hayati, siklus nutrien, dan ketersediaan air tawar.
Dua di antaranya dianggap “inti”, perubahan iklim dan integritas biosfer. Integritas biosfer, kesehatan hutan, padang rumput, lahan basah, hingga mikroorganisme, adalah fondasi kehidupan di planet ini.
Peneliti menggunakan dua indikator:
- HANPPHol (Human Appropriation of Net Primary Production, Holocene baseline), yakni seberapa besar produktivitas alam (pertumbuhan tanaman) yang diambil manusia lewat pertanian, penebangan, dll.
- EcoRisk atau sejauh mana ekosistem bergeser dari kondisi alaminya, dilihat dari perubahan vegetasi dan siklus karbon, nitrogen, serta air.
Dengan model vegetasi global, para ilmuwan memetakan perubahan ini sejak tahun 1600.
Pada masa itu, sebagian besar wilayah masih berada dalam ambang sehat ekosistem, meski Eropa, India, dan Tiongkok sudah mulai menunjukkan tanda stres akibat pertanian lama.
Namun, sejak awal 1900-an, terutama setelah ekspansi pertanian besar-besaran di Amerika Utara dan Eurasia, lahan yang dipaksa menanggung beban lebih berat melonjak drastis.
Kini, 60% daratan sudah melampaui kapasitas daya dukung alam, dan 38% di antaranya berada di zona merah berisiko tinggi.
Meski pertanian intensif masih jadi faktor utama, terutama di Eropa, Asia, dan Amerika Utara, ancaman juga muncul di wilayah terpencil.
Daerah lintang tinggi seperti Arktik dan dataran tinggi Tibet kini mencatat skor EcoRisk tinggi bukan karena bajak atau buldoser, melainkan karena perubahan iklim.
Suhu yang menghangat, pola hujan yang bergeser, serta deposisi nitrogen dari bahan bakar fosil ikut mengacaukan ekosistem.
Saat ekosistem 'menanggung beban berlebihan', yang terancam bukan hanya satwa liar. Manusia juga bergantung pada “layanan ekosistem” seperti:
- penyerbukan tanaman pangan,
- penyaringan air alami oleh hutan dan lahan basah,
- penyimpanan karbon di tanah dan vegetasi,
- serta perlindungan dari banjir dan kekeringan.
Hilangnya fungsi-fungsi ini berarti meningkatnya biaya, risiko, dan krisis bagi umat manusia.
Studi ini memberi peta detail wilayah mana yang paling rawan. Informasi ini penting untuk pemerintah, komunitas, maupun kelompok konservasi dalam menentukan langkah penyelamatan.
Misalnya, jika skor HANPPHol tinggi, solusinya bisa dengan memperbaiki praktik pertanian agar lebih berkelanjutan. Tapi jika EcoRisk tinggi meski lahan minim aktivitas manusia, itu berarti dampak perubahan iklim harus jadi fokus utama.
Kesimpulannya jelas, 'ruang aman alam' Bumi semakin menyusut. Kita belum mencapai titik di mana semua ekosistem kolaps, tapi arah tren mengarah ke sana dengan cepat.
Dengan kata lain, alam sudah terlalu lama dipaksa bekerja melebihi kapasitasnya, dan itu kembali pada kita, manusia.
Seperti pesan utama para peneliti, ini bukan alarm kiamat, melainkan panggilan darurat untuk bertindak sekarang, mulai dari investasi di pertanian berkelanjutan, melindungi habitat alami, hingga menghadapi perubahan iklim secara serius.
Seperti halnya kesehatan pasien, semakin cepat kita bertindak, semakin besar peluang Bumi untuk pulih.
Saduran dari StudyFinds.

Posting Komentar