Orang yang memandang masyarakat sebagai “rimba persaingan” lebih cenderung mengagumi pemimpin antagonis ketimbang mereka yang melihat dunia sebagai ruang kerja sama.
- Orang dengan pandangan dunia kompetitif menganggap pemimpin galak lebih efektif.
- Mereka yang melihat dunia kooperatif cenderung menilai gaya kepemimpinan antagonis justru tidak berguna.
- Studi ini menunjukkan penilaian atas pemimpin sangat dipengaruhi oleh “lensa” keyakinan pribadi.
ORANG dengan pandangan dunia kompetitif menganggap pemimpin galak lebih efektif. Hal ini terungkap dalam sebuah studi terbaru yang dipublikasikan di Journal of Personality and Social Psychology.
Penelitianm yang dilakukan oleh Christine Nguyen dan Daniel Ames dari Columbia Business School ini melibatkan lebih dari 2.000 responden di Amerika Serikat.
Mereka ditanya soal sikap terhadap perilaku kepemimpinan antagonis, seperti membuat ancaman, menyalahkan orang lain, atau bersikap intimidatif. Hasilnya, tanggapan tidak seragam, sangat tergantung pada bagaimana seseorang memandang dunia.
Bagi mereka yang yakin bahwa dunia adalah “hutan sosial” penuh persaingan, gaya kepemimpinan keras, tegas, bahkan konfrontatif justru dipandang sebagai tanda kompetensi.
Sebaliknya, orang yang percaya bahwa masyarakat bekerja secara saling mendukung menilai perilaku semacam itu tidak efektif, bahkan kontraproduktif.
Survei melibatkan serangkaian pertanyaan untuk mengukur worldview peserta, misalnya apakah mereka setuju dengan pernyataan:
"Dunia sosial kita pada dasarnya adalah hutan kompetitif di mana yang terkuat bertahan, dan kekuasaan serta kemenangan adalah segalanya.”
Mereka yang setuju dengan pandangan ini cenderung menganggap sikap galak pemimpin sebagai cara efektif “naik ke puncak.”
Studi ini juga meminta peserta menilai perilaku tokoh bisnis nyata, seperti Tim Cook (Apple) dan Bob Iger (Disney). Orang dengan pandangan dunia kompetitif lebih sering berasumsi bahwa para CEO sukses berkat strategi antagonis.
Tak hanya itu, mereka juga melaporkan lebih sering bekerja di bawah manajer bergaya keras.
Nguyen menjelaskan bahwa seiring waktu, pemimpin antagonis mungkin akan dikelilingi karyawan dengan pandangan dunia serupa. Mereka yang lebih toleran terhadap gaya kepemimpinan keras.
Ini menjelaskan mengapa di beberapa organisasi, kultur kerja penuh intimidasi bisa bertahan lama.
Ames menambahkan, studi ini menyoroti pentingnya memahami bahwa penilaian terhadap pemimpin tidak terjadi di ruang hampa. Orang menilai pemimpinnya melalui lensa keyakinan pribadi, apakah dunia ini penuh persaingan atau kerja sama.
Dengan kata lain, ketika dua orang berbeda pendapat soal “pemimpin hebat,” sebenarnya mereka sedang melihat dunia dengan kacamata berbeda.
Walau studi ini berbasis responden dari Amerika Serikat, temuan ini bisa memicu refleksi lebih luas. Di konteks politik maupun bisnis, kita sering menjumpai figur yang dielu-elukan sebagian orang tapi dianggap bermasalah oleh yang lain.
Fenomena ini bukan sekadar soal karakter pemimpin, melainkan juga cermin dari bagaimana masyarakat memandang sifat dasar dunia sosial.
Nguyen berharap penelitian ini mendorong orang untuk bertanya, 'apakah saya kagum pada pemimpin karena ia memang efektif, atau karena pandangan saya tentang dunia membuat saya lebih menerima gaya antagonis?'
Sebuah pertanyaan yang layak direnungkan, baik oleh warga biasa maupun oleh pemimpin itu sendiri.
Saduran dari Live Science.

Posting Komentar