Dilema Orang Dewasa Autistik: Ungkap Diagnosis atau Simpan Rahasia?

Diagnosis bisa membuka jalan bagi dukungan dan penerimaan diri, tapi juga berisiko memicu stereotip, penolakan, bahkan kerentanan emosional. 


Diagnosis bisa membuka jalan bagi dukungan dan penerimaan diri, tapi juga berisiko memicu stereotip, penolakan, bahkan kerentanan emosional.Foto Ilustrasi: Freepik 


Ringkasan 

  • Banyak orang dewasa autistik merasa dilema antara membuka atau menyembunyikan diagnosis mereka.
  • Pengungkapan bisa memberi akses ke dukungan, tetapi juga berisiko memicu stigma dan salah paham.
  • Studi menekankan pentingnya dukungan pasca-diagnosis, termasuk strategi menghadapi reaksi orang lain.


DIAGNOSIS autisme di usia dewasa bisa menjadi titik balik besar dalam hidup seseorang. Bagi sebagian orang, ini membantu memahami pengalaman masa lalu dan memberi kerangka baru tentang siapa diri mereka. 


Tapi kemudian muncul pertanyaan penting: apakah diagnosis ini perlu diceritakan ke orang lain? Dan bagaimana cara melakukannya tanpa menimbulkan masalah baru?


Penelitian dari University of Sheffield dan Cardiff University, yang dipublikasikan dalam jurnal Autism, melibatkan wawancara mendalam dengan 12 orang dewasa autistik yang baru didiagnosis. 


Hasilnya menunjukkan bahwa mengungkapkan diagnosis bukanlah keputusan sekali jadi, melainkan proses berulang yang dipengaruhi lingkungan, hubungan, dan kesiapan emosional.


Ada empat tema besar yang muncul, yakni fungsi pengungkapan, cara mendekati percakapan, dampak prasangka negatif, serta peran penerimaan dan komunitas. 


Bagi sebagian peserta, pengungkapan adalah jalan untuk mengakses dukungan di pekerjaan, layanan kesehatan, atau keseharian. 


Ada juga yang merasa bisa lebih “otentik” di lingkungan sosial ketika tidak lagi harus menyembunyikan ciri-ciri autistik mereka. 


Bahkan, beberapa orang menjadikan pengungkapan sebagai bentuk advokasi, ikut menyuarakan penerimaan terhadap neurodiversitas. Namun, tidak sedikit pula yang menghadapi reaksi negatif. 


Komentar seperti “kamu nggak kelihatan autistik” membuat mereka merasa tidak dipercaya, bahkan muncul semacam “sindrom penipu” (imposter syndrome) — meragukan apakah mereka benar-benar pantas disebut autistik. 


Hal ini terkait erat dengan stereotip lama, misalnya bahwa autisme hanya dialami laki-laki, atau selalu terlihat jelas dengan kesulitan sosial berat.


Untuk menyiasatinya, banyak orang memilih strategi “pengungkapan parsial”. Misalnya, mereka hanya menyebutkan memiliki sensitivitas sensorik atau kesulitan sosial tertentu tanpa secara langsung menyebut kata “autisme”. 


Cara ini memungkinkan mereka mendapat penyesuaian di tempat kerja atau layanan publik, tapi tetap menghindari stigma.


Di sisi lain, pengalaman positif juga muncul. Ketika orang lain merespons dengan terbuka dan ingin memahami, pengungkapan bisa memperkuat hubungan, menghadirkan rasa diterima,


Hal tersebut bahkan menghubungkan mereka dengan komunitas autistik yang lebih luas. 


Beberapa peserta mengatakan, dengan berbagi pengalaman, mereka justru menginspirasi orang lain untuk lebih peduli atau bahkan mencari diagnosis sendiri.


Sayangnya, banyak orang dewasa autistik merasa dibiarkan sendirian setelah menerima diagnosis. 


Peneliti menekankan perlunya layanan kesehatan menyediakan pendampingan pasca-diagnosis: bagaimana memilih siapa yang akan diberitahu, strategi menghadapi reaksi negatif, hingga akses ke kelompok dukungan sebaya


Yang tak kalah penting, tanggung jawab edukasi tidak seharusnya dibebankan penuh pada individu autistik. Lingkungan kerja, layanan publik, hingga masyarakat luas perlu meningkatkan literasi tentang autisme.


Penelitian ini memang terbatas pada 12 partisipan dan menggunakan pendekatan kualitatif, sehingga temuan tidak bisa digeneralisasi untuk semua orang dewasa autistik. 


Namun, suara-suara dalam studi ini memberi gambaran nyata tentang dilema sehari-hari yang sering luput dari perhatian.


Seperti judul studi yang dipublikasikan, pertanyaan yang kerap muncul dalam benak mereka adalah: “Am I gonna regret this?” (“Apakah aku akan menyesal setelah menceritakan ini?”).


Disadur dari PsyPost.


Post a Comment

أحدث أقدم