Saat sinar matahari tidak datang secara langsung, melainkan tersebar karena awan atau partikel di atmosfer, tanaman ternyata merespons dengan cara yang menarik.
Ringkasan
- Cahaya matahari yang tersebar bisa menembus kanopi tanaman lebih dalam, meningkatkan fotosintesis di beberapa ekosistem.
- Studi dari data NEON dan satelit ECOSTRESS menunjukkan evapotranspirasi justru menurun saat cahaya tersebar meningkat.
- Di 19 dari 32 lokasi penelitian, cahaya tersebar meningkatkan serapan karbon oleh ekosistem.
BAYANGKAN sinar matahari menembus awan dan menyebar seperti cahaya lembut yang menimpa seluruh permukaan hutan. Itulah yang disebut cahaya tersebar, dan efeknya bagi tanaman ternyata lebih kompleks dari yang selama ini diperkirakan.
Dalam kondisi normal, cahaya langsung hanya menyinari daun-daun di bagian atas kanopi. Tapi cahaya tersebar bisa menyelinap sampai ke bagian bawah kanopi, memberi peluang lebih merata untuk fotosintesis di seluruh lapisan daun.
Fenomena ini sudah lama menarik perhatian ilmuwan, yang menyebutnya sebagai “efek pemupukan cahaya tersebar” (diffuse-light fertilization effect).
Teori ini mengatakan bahwa cahaya tersebar bisa meningkatkan penyerapan karbon dan mengubah suhu serta penguapan di kanopi.
Tapi masih jadi teka-teki, seberapa besar cahaya tersebar ini bisa berdampak positif sebelum akhirnya justru mengurangi fotosintesis karena intensitas cahayanya menurun secara keseluruhan?
Untuk menjawab itu, tim peneliti yang dipimpin oleh E. Schwartz memanfaatkan data dari National Ecological Observatory Network (NEON).
NEON adalah jaringan observasi ekologi yang sejak 2017 mengumpulkan data di 32 lokasi berbeda di Amerika Serikat, mulai dari hutan, padang rumput, semak, hingga lahan pertanian.
Schartz dan rekan-rekannya juga menggabungkannya dengan data satelit ECOSTRESS, yang mengukur suhu dan aktivitas ekosistem dari luar angkasa.
Hasilnya cukup mengejutkan. Secara umum, evapotranspirasi justru menurun saat cahaya tersebar meningkat, bertolak belakang dengan model-model lama yang memprediksi adanya titik optimal.
Artinya, alih-alih "membuat tanaman lebih haus", cahaya tersebar justru mengurangi pelepasan air melalui daun. Ini menunjukkan, ketersediaan air mungkin jauh lebih menentukan dibanding jenis cahaya dalam memengaruhi penguapan.
Namun bukan berarti cahaya tersebar tidak membawa manfaat. Di sebagian besar lokasi (19 dari 32), terutama di hutan dan semak, serapan karbon meningkat saat cahaya tersebar lebih dominan.
Artinya, meskipun evapotranspirasi menurun, fotosintesis justru tetap bisa meningkat, kemungkinan karena distribusi cahaya yang lebih merata ke seluruh bagian tanaman.
Hasil ini menjadi penting terutama di era perubahan iklim. Awan, asap kebakaran hutan, dan polusi bisa mengubah proporsi cahaya langsung dan tersebar yang mencapai permukaan bumi.
Dengan memahami cara tanaman merespons kondisi ini, kita bisa lebih akurat memperkirakan bagaimana ekosistem menyerap karbon di masa depan.
Dan yang menarik, masih banyak misteri tersisa. Misalnya, bagaimana reaksi tanaman di wilayah tropis yang belum banyak diteliti? Apakah pola ini juga berlaku di musim-musim ekstrem seperti kekeringan panjang?
Studi ini membuka jalan untuk pengamatan lebih lanjut, dengan harapan bahwa cahaya yang tersebar tak hanya membantu tanaman bertahan, tapi juga membantu kita memahami dinamika karbon Bumi secara lebih baik.
Disadur dari Eos.org - How Plants Respond to Scattered Sunlight
إرسال تعليق