Sebuah studi menemukan bahwa masyarakat di negara-negara maju dan lebih setara cenderung menganggap kekayaan ekstrem sebagai hal yang tidak etis.
Ringkasan
- Orang di negara kaya dan setara (seperti Swiss atau Irlandia) lebih cenderung menganggap kekayaan ekstrem sebagai sesuatu yang salah secara moral.
- Nilai moral seperti kesetaraan dan "kemurnian" membuat seseorang lebih mungkin menghakimi kekayaan berlebihan.
- Sebaliknya, masyarakat yang menjunjung nilai loyalitas, otoritas, dan keadilan proporsional lebih menerima orang super kaya.
PENELITIAN yang dipublikasikan di PNAS Nexus ini melibatkan lebih dari 4.300 orang dari 20 negara, mulai dari Belgia dan Jepang hingga Nigeria dan Peru.
Temuannya cukup mengejutkan—di negara-negara miskin dan timpang, orang justru lebih menerima keberadaan orang super kaya.
Sementara di negara-negara dengan pendapatan per kapita tinggi dan ketimpangan rendah, seperti Irlandia dan Swiss, kekayaan berlebihan lebih sering dianggap tidak pantas secara moral.
Apa yang bikin orang menganggap kekayaan itu "tidak bermoral"? Ternyata, bukan cuma soal kecemburuan sosial atau ketimpangan ekonomi.
Orang-orang yang sangat menghargai nilai kesetaraan dan "kemurnian", yaitu gagasan soal kealamian, kebersihan, dan menghindari hal-hal yang korup atau menjijikkan, lebih cenderung menganggap kekayaan ekstrem itu salah.
Bisa dibilang, mereka melihat uang berlebih itu sebagai sesuatu yang "kotor", baik secara harfiah maupun simbolis. Ini juga menjelaskan kenapa istilah "filthy rich" alias "kaya setengah mati" punya makna moral yang kuat.
Di sisi lain, orang yang menjunjung tinggi nilai-nilai konservatif seperti loyalitas, hierarki, dan keadilan berdasarkan usaha (proportionality) lebih santai terhadap orang tajir melintir selama kekayaan itu dianggap pantas didapatkan.
Sebuah studi lanjutan di Amerika Serikat menunjukkan bahwa cara orang menilai kekayaan juga dipengaruhi oleh cara uang itu diperoleh dan digunakan.
Kalau seseorang kaya karena jadi atlet hebat lalu menyumbang ke amal, itu dianggap "kaya yang baik." Tapi kalau kekayaan datang dari korupsi dan dipakai untuk menghindari pajak? Nah, di situ muncul 'moral judgment'.
Uniknya, religiusitas ternyata hanya punya pengaruh kecil terhadap penilaian moral soal kekayaan ekstrem. Jadi bukan cuma ajaran agama soal keserakahan yang main peran melainkan nilai-nilai psikologis yang lebih dalam dan lintas budaya.
Ada satu kutipan menarik dari Elon Musk, yang bilang bahwa menyebut "miliarder" sebagai hinaan adalah hal yang salah secara moral, apalagi kalau orang itu menciptakan produk yang membahagiakan jutaan orang.
Tapi studi ini menunjukkan bahwa tidak semua orang setuju.
Mereka yang lebih progresif, hidup di negara sejahtera, dan peduli soal kemurnian serta kesetaraan justru melihat kekayaan ekstrem sebagai sesuatu yang layak dikritik, tak peduli seberapa "produktif" si orang kaya itu.
Intinya, menjadi super kaya bisa jadi bukan sekadar sukses finansial, tapi juga persoalan moral—tergantung siapa yang menilai dan dari konteks budaya mana penilaian itu berasal.
Sumber: StudyFinds - Is Being ‘Filthy Rich’ Immoral? Why Society Views Extreme Wealth As Wrong
إرسال تعليق