Hasil riset terbaru menunjukkan bagaimana bagian tertentu di otak dapat menentukan apakah sesuatu terasa nyata atau tidak.
Ringkasan
- Otak menciptakan realitas dengan menggabungkan persepsi dan imajinasi.
- Aktivitas di fusiform gyrus jadi penentu apakah sesuatu terasa nyata.
- Studi ini bisa jadi kunci untuk memahami halusinasi dan gangguan mental lain.
PERNAHKAH kamu benar-benar yakin melihat sesuatu—ternyata keliru? Itu bukan hal aneh. Otak kita memang punya mekanisme luar biasa untuk membentuk realitas, tapi kadang-kadang, mekanisme itu justru menipu.
Menurut Nadine Dijkstra dari Imagine Reality Lab, University College London, persepsi kita bukan sekadar respons pasif terhadap dunia, melainkan hasil konstruksi aktif dari informasi inderawi dan memori.
Lebih dari 100 tahun lalu, psikolog Mary Cheves West Perky membuat eksperimen unik.
Ia meminta orang membayangkan objek seperti tomat merah di dinding kosong, padahal ia diam-diam memproyeksikan bayangan samar objek itu ke dinding.
Hasilnya? Subjek menyangka mereka hanya membayangkannya. Ini menunjukkan bahwa imajinasi dan persepsi nyata bisa tumpang tindih.
Kini, Dijkstra meneruskan pendekatan itu ke abad ke-21. Dalam eksperimen modernnya, ia menggunakan fMRI untuk melacak aktivitas otak saat subjek diminta membayangkan garis diagonal di layar.
Lantas, dia membandingkannya dengan saat garis itu benar-benar diproyeksikan. Latar belakang layar dibuat 'berisik', mirip ‘semut’ di TV, agar membingungkan dan memperhalus perbedaan antara nyata dan rekaan.
Dari hasil pemindaian, satu wilayah otak mencuat: fusiform gyrus. Bagian ini aktif saat seseorang melihat objek nyata, dan tak terlalu aktif saat mereka hanya membayangkannya.
Tapi ketika subjek keliru mengira imajinasinya nyata (alias halusinasi ringan), fusiform gyrus dan anterior insula di korteks prefrontal sama-sama menyala—seolah otak berkata: “Ya, ini nyata.”
Inilah yang disebut Dijkstra sebagai 'sinyal realitas'. Kalau sinyal ini cukup kuat, ia menembus ambang batas tertentu di otak—yang membuat kita yakin bahwa apa yang kita lihat benar-benar ada.
Dijkstra percaya, memahami mekanisme ini bisa membantu kita memahami kondisi seperti skizofrenia, di mana pasien sulit membedakan kenyataan dan halusinasi.
Jika fusiform gyrus bisa diidentifikasi sebagai sumber sinyal palsu, bukan mustahil kelak ia bisa jadi target terapi.
Lebih jauh lagi, ini juga menjelaskan kenapa kita kadang keliru menafsirkan apa yang kita lihat.
Dijkstra sendiri pernah melihat seekor “anjing” saat jalan-jalan di London, padahal itu rubah. Karena terbiasa melihat anjing, otaknya langsung membentuk persepsi lama—meskipun faktanya berbeda.
Masih banyak misteri tentang persepsi yang belum terjawab. Apakah orang dengan imajinasi kuat lebih rentan halusinasi? Apa yang menentukan ambang sinyal realitas seseorang?
Dijkstra menyadari bahwa penelitian ini baru permulaan, dan seperti ilmuwan sejati, ia tak keberatan bila hipotesisnya kelak terbantahkan. “Yang penting kita terus maju,” katanya.
Disadur dari artikel berjudul How does your brain know something is real? yang tayang di Popular Science.
إرسال تعليق