Sempat Dianggap Beracun, Ilmuwan Ungkap Rahasia Tomat Tak Membunuh Manusia

Tomat dulunya dianggap beracun di Eropa pada abad ke-16 hingga ke-18. Namun, penelitian baru menemukan fakta tentang tomat yang membuatnya menjadi tak berbahaya. 


Tomat dulunya dianggap beracun di Eropa pada abad ke-16 hingga ke-18. Namun, penelitian baru menemukan fakta tentang tomat yang membuatnya menjadi tak berbahaya.     Foto Ilustrasi: Suvan Chowdhury/PexelsFoto Ilustrasi: Suvan Chowdhury/Pexels


Ringkasan:

  • Proses demetilasi ini memungkinkan tomat untuk menjadi buah yang dapat dimakan dan tidak beracun. 
  • Penemuan terbaru juga menunjukkan dampak dari domestikasi tomat oleh manusia selama beberapa abad.
  • Penelitian dilakukan oleh para ilmuwan dari Universitas Sicuan, Cina. 


ngarahNyaho - Dahulu kala tomat dianggap sebagai hukuman mati—setidaknya, itulah yang diyakini banyak orang Eropa antara abad ke-16 dan ke-18. 


Namun, hal itu tidak mengubah fakta bahwa tomat, seperti saudaranya dari famili Solanaceae, masih menghasilkan glikosida steroid beracun selama siklus hidupnya.


Lha, terus mengapa manusia selama ini aman-aman saja setelah mengonsumsi tomat? 


Para peneliti di Universitas Sichuan, Tiongkok ini mengungkap akar permasalahan kimia tersebut. Temuan mereka, dijelaskan dalam makalah yang dilaporkan di Science Advances.


Hasil studi menunjukkan adanya "jaringan transformasi epigenetik dan genetik yang kompleks" yang memungkinkan manusia dan banyak hewan memakan tomat tanpa rasa takut.


Glikoalkaloid steroid berevolusi pada tanaman Solanaceae untuk bertahan melawan hama. Menelan molekul tersebut terlalu banyak akan menghasilkan rasa pahit yang tidak menyenangkan. 


Dalam jumlah yang cukup besar, glikoalkaloid steroid dapat menyebabkan berbagai gejala yang jauh lebih serius.


Beberapa gejala yang mungkin terjadi, seperti sensasi terbakar, mual, kram, denyut nadi dan pernapasan yang melambat, serta lesi lambung dan pendarahan internal.


Namun, Solanaceae memerlukan perbanyakan biji seperti halnya famili tanaman lainnya.


Nah, itu sering kali paling baik dicapai oleh hewan yang memakan buahnya, mencerna nutrisinya, dan meninggalkan bijinya di tumpukan pupuk alami.


Jadi pada suatu titik dalam proses pematangannya, Solanaceae seperti tomat perlu memperhitungkan kadar glikoalkaloid steroidnya yang beracun. 


Hanya saja, kapan dan bagaimana itu terjadi, telah lama menjadi misteri.


Para peneliti yang dipimpin oleh ahli biologi Feng Bai kini telah mengidentifikasi sistem molekuler yang bertanggung jawab atas fase transisi tomat yang penting ini. 


Untuk melakukan ini, mereka menganalisis data sekuensing bisulfit genom utuh atau whole-genome bisulfite sequencing (WGBS) dan mencoba genetika tomat untuk memblokir protein tertentu. 


Hasilnya mengungkapkan bahwa bahan kimia yang sama yang menyebabkan tomat matang menjadi buah yang lebih merah, lebih lembut, dan lebih manis juga bekerja untuk memecah glikosida beracun menjadi senyawa esculeoside A yang kurang beracun.


Peneliti secara khusus berfokus pada protein DML2 yang "memungkinkan mesin pembaca gen sel untuk mengakses gen yang terlibat dalam menghentikan racun dengan menghilangkan gugus metil, yang bertindak sebagai sinyal molekuler, dari bagian tertentu kromosom genetik." 


Proses ini, yang dikenal sebagai demetilasi, sangat penting dalam membuat tomat dapat dimakan. Namun, ketika DML2 diblokir, tanaman tomat mempertahankan kadar glikosida steroid yang sama tingginya melalui pematangan buah.


Setelah membandingkan informasi genetik dengan tanaman serupa lainnya, tim Bai menemukan demetilasi yang diarahkan oleh DML2 pada tomat meningkat saat manusia belajar untuk menerima dan menjinakkan tomat selama beberapa abad terakhir. 


Namun, seiring tomat tumbuh lebih besar, lebih merah, dan lebih manis, kadar gen glikoalkaloid steroid juga semakin rendah. Inilah cara tomat hijau dapat digoreng dan dinikmati, tanpa takut mati oleh "apel beracun" yang mistis itu. |Sumber: PopSci


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama