Mumi Ternyata Mengeluarkan Bau yang Tak Terduga

 Penelitian terbaru menemukan bahwa mumi Mesir kuno memiliki aroma yang tidak terduga.


Mumi yang dipamerkan di museum di Kairo, Mesir. Foto: Emma PaolinMumi yang dipamerkan di museum di Kairo, Mesir. Foto: Emma Paolin


Ringkasan: 

  • Hasil penelitian menunjukkan bahwa mumi yang disimpan di ruang penyimpanan memiliki aroma yang berbeda dengan mumi yang dipamerkan di galeri museum.
  • Aroma mumi dipengaruhi oleh bahan-bahan yang digunakan dalam proses mumifikasi, seperti resin, minyak, dan rempah-rempah.
  • Penelitian ini juga menemukan bahwa mumi dari periode yang berbeda memiliki aroma yang berbeda, yang dapat memberikan informasi tentang praktik mumifikasi dan status sosial orang yang dimumi.



ngarahNyaho - Banyak di antara kita yang mungkin mengira mumi Mesir kuno berbau apek layaknya makam dan artefak tua. Nyatanya, menurut para peneliti tidaklah demikian. 


Sebuah studi baru yang diterbitkan dalam Journal of the American Chemical Society telah memetakan aroma tak terduga ini melalui analisis sistematis pertama dari aroma mumi. 


Berdasarkan penelitian terhadap sembilan mumi di Museum Mesir di Kairo, para peneliti menemukan bahwa sisa-sisa kuno ini membawa aroma menyenangkan khas yang telah bertahan selama ribuan tahun.


Dalam budaya Mesir kuno, aroma memainkan peran penting dalam aspek keagamaan dan praktis mumifikasi.


Aroma yang menyenangkan tidak hanya membuat sesuatu berbau harum – aroma tersebut mewakili kehadiran ilahi dan kemurnian spiritual. 


Bangsa Mesir kuno menggunakan kata-kata khusus untuk menggambarkan spektrum pembusukan, dari “rpw” (busuk) hingga “hw3t” (pembusukan), dan “iwtyw” (korupsi). 


Istilah-istilah ini muncul dalam teks-teks pemakaman kuno, yang menyoroti betapa pentingnya mencegah proses-proses ini melalui teknik pengawetan yang cermat.


Praktik mumifikasi berkembang secara signifikan dari waktu ke waktu. Selama periode Pradinasti (sekitar 5000 SM), jenazah diawetkan secara alami oleh pasir gurun yang panas dan kering. 


Pada Kerajaan Lama (2700-2200 SM), pembalsem mulai menggunakan natron – campuran alami natrium karbonat dan garam lainnya – bersama dengan resin dan bahan-bahan aromatik. 


Proses ini mencapai puncak kecanggihannya selama Kerajaan Baru (1570-1069 SM).


Di masa itu pembalsem menggunakan serangkaian zat harum yang kompleks termasuk resin konifera, minyak dari pohon cedar dan pinus, rempah-rempah berharga, dan getah aromatik seperti kemenyan dan mur.


Ilmuwan memeriksa sembilan mumi yang menunjukkan evolusi teknik pengawetan ini. Lima mumi disimpan di area penyimpanan, sementara empat dipajang di galeri museum. 


Mumi-mumi ini berasal dari berbagai periode sejarah dan kemungkinan mewakili berbagai kelas sosial, yang memberikan wawasan tentang bagaimana praktik mumifikasi bervariasi berdasarkan kekayaan dan status.


Investigasi mereka mengungkap perbedaan yang mengejutkan antara mumi yang disimpan dan yang dipajang. 


Mumi yang dipajang di etalase menghasilkan berbagai macam aroma yang lebih kaya, khususnya senyawa organik berbau harum yang disebut terpenoid, lakton, dan fenolik. 


Perbedaan ini mungkin berasal dari kondisi pengawetan yang lebih baik dalam etalase tertutup, yang memerangkap dan mengawetkan aroma kuno yang jika tidak akan hilang.


Dengan menggunakan teknik analisis yang canggih, para ilmuwan mengidentifikasi empat sumber aroma mumi yang berbeda. 


Pertama adalah bahan-bahan mumifikasi asli – resin, minyak, dan rempah-rempah kuno yang masih mempertahankan sifat aromatiknya setelah ribuan tahun. 


Kedua adalah minyak nabati yang digunakan oleh konservator modern untuk membantu mengawetkan jenazah. Ketiga adalah pestisida sintetis yang digunakan selama upaya konservasi sebelumnya. 


Terakhir, beberapa aroma berasal dari proses biologis alami yang berlanjut bahkan pada jenazah yang diawetkan.


Satu penemuan menarik muncul ketika para peneliti membandingkan mumi dari periode waktu yang berbeda. 


Mereka yang berasal dari Periode Akhir (664-332 SM) memiliki profil aroma yang sangat mirip, yang menunjukkan praktik pembalsaman yang terstandarisasi selama era ini. 


Spesimen yang paling terawetkan, yang berasal dari periode Kerajaan Baru, mengungkapkan aroma manis dan buah yang unik yang diciptakan oleh senyawa kimia yang disebut lakton. 


Aroma khusus ini mungkin menunjukkan status sosial yang lebih tinggi dari orang yang meninggal, karena bahan yang lebih berkualitas dan lebih mahal digunakan dalam mumifikasi mereka.


Analisis mikrobiologi mengungkapkan lapisan kompleksitas lainnya. 


Tim peneliti mengidentifikasi berbagai spesies bakteri dan jamur yang ada pada mumi, termasuk beberapa yang diketahui berkontribusi pada proses pengawetan.


Mikroorganisme ini menghasilkan senyawa volatilnya sendiri, yang menambahkan aroma halus pada keseluruhan profil aromatik, sementara secara umum tetap berada pada tingkat yang aman bagi artefak dan pengunjung museum.


Selain kepentingan ilmiah murni, penelitian ini memberikan aplikasi praktis untuk konservasi museum. 


Identifikasi pestisida sintetis pada beberapa spesimen menyoroti perlunya pemantauan cermat terhadap metode pengawetan. 


Selain itu, penelitian ini mendeteksi tanda-tanda aktivitas mikrobiologi aktif, meskipun untungnya pada tingkat yang lebih rendah dari masalah kesehatan dan keselamatan.


“Bagi orang Mesir kuno, mumifikasi merupakan praktik penting untuk mengawetkan tubuh dan jiwa untuk kehidupan setelah kematian melalui ritual pembalsaman jenazah yang terperinci menggunakan minyak, lilin, dan balsem."


Demikian kata rekan penulis penelitian tersebut, Profesor Ali Abdelhalim, direktur Museum Mesir di Kairo. 


“Praktik ini berkembang seiring waktu, dan mengidentifikasi berbagai teknik dan bahan yang digunakan memberikan wawasan tentang era, lokasi, dan status sosial ekonomi individu yang dimumikan.” |Sumber: StudyFinds

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama