Strategi geoengineering yang pernah dianggap sebagai “penyelamat bumi” ternyata tak mampu melindungi tanaman, seperti kopi, cokelat, dan anggur dari dampak perubahan iklim.
Ringkasan
- Teknologi geoengineering SAI mampu mendinginkan bumi, tapi tak menstabilkan iklim lokal untuk pertanian.
- Tanaman bernilai tinggi seperti kopi, cokelat, dan anggur justru makin rentan terhadap fluktuasi suhu, hujan, dan kelembapan.
- Perubahan kecil dalam iklim bisa menimbulkan kerugian miliaran dolar di sektor ekspor negara-negara penghasil.
TEKNOLOGI pendinginan planet lewat penyemprotan partikel ke atmosfer, dikenal sebagai stratospheric aerosol injection (SAI) memang bisa menurunkan suhu global.
Namun, hasil studi dari Colorado State University menunjukkan, teknologi itu gagal menjaga keseimbangan cuaca dan kelembapan yang dibutuhkan tanaman-tanaman ini untuk tumbuh dengan baik.
Penelitian yang dipublikasikan di jurnal Environmental Research Letters itu memodelkan dampak geoengineering pada 18 wilayah penghasil utama kopi, cokelat, dan anggur di Eropa, Amerika Selatan, dan Afrika Barat.
Tim ilmuwan meneliti dua skenario: satu menahan suhu global di 1,0°C dan satu lagi di 1,5°C di atas tingkat pra-industri.
Hasilnya, meski suhu global memang turun, keseimbangan cuaca lokal yang penting bagi tanaman justru tetap berantakan. Hujan, kelembapan, dan pola angin berubah secara tidak menentu.
Kondisi tersebut justru membuat sebagian daerah justru mengalami kondisi ekstrem baru.
“Menurunkan suhu saja tidak cukup,” kata Dr. Ariel Morrison, ahli atmosfer dari Colorado State University.
“Cokelat, misalnya, memang tahan panas, tapi kombinasi panas, hujan, dan kelembapan tinggi bisa memicu penyakit tanaman yang mematikan.”
Kopi dan cokelat tumbuh optimal di zona sempit beriklim tropis yang lembap tapi stabil. Ketika suhu meningkat dan curah hujan tak menentu, kualitas biji kopi menurun, sedangkan pohon kakao menjadi rentan jamur.
Di sisi lain, kebun anggur di Eropa Selatan sempat diuntungkan oleh suhu yang lebih sejuk, tapi wilayah lain kehilangan keseimbangan suhu yang dibutuhkan untuk fermentasi dan rasa buah anggur yang ideal.
Dari 18 wilayah yang diteliti, hanya enam yang mengalami perbaikan stabil di bawah skenario geoengineering, sisanya justru menghadapi hasil yang acak, antara membaik sedikit atau malah memburuk drastis.
Di Brasil, misalnya, beberapa simulasi menunjukkan panen kopi meningkat karena curah hujan tambahan, tapi simulasi lain justru menunjukkan kerugian besar akibat embun beku ekstrem.
Dengan mengaitkan data iklim pada ekspor pertanian, peneliti memperkirakan dampak ekonomi yang mencengangkan.
Di Prancis, perbedaan antara skenario terbaik dan terburuk SAI mencapai potensi rugi hingga 60 miliar dolar AS untuk industri anggur.
Di Ghana dan Brasil, nilai ekspor kakao dan kopi juga menunjukkan fluktuasi tajam yang mengancam jutaan mata pencaharian.
“SAI mungkin bisa menurunkan suhu sementara,” tulis para peneliti, “tapi ketidakpastian iklim yang ditimbulkannya bisa lebih merusak daripada perubahan bertahap yang kita alami sekarang.”
SAI sendiri terinspirasi dari letusan gunung berapi besar, yang bisa mendinginkan bumi dengan memantulkan sebagian sinar matahari ke luar angkasa.
Namun, studi terbaru memperkuat skeptisisme terhadap pendekatan ini.
Penelitian lain yang dimuat di Scientific Reports bahkan memperingatkan bahwa geoengineering bisa memicu gangguan muson, cuaca ekstrem, dan pola curah hujan tak terduga di berbagai belahan dunia.
Artinya, sekalipun manusia bisa “memutar kenop termostat bumi,” hasilnya tidak akan seragam. Bagi petani kecil di negara tropis, ketidakpastian ini bisa lebih berbahaya dibanding kenaikan suhu perlahan.
Dr. Morrison menegaskan bahwa geoengineering bukan solusi ajaib. “Pendekatan seperti SAI mungkin memberi jeda singkat dari pemanasan global, tapi tidak menyelesaikan akar masalah,” ujarnya.
Ia menekankan pentingnya adaptasi lokal, seperti pengembangan varietas tanaman tahan panas, perbaikan tata kelola air, dan investasi dalam pertanian berkelanjutan.
Disadur dari The Debrief.

Posting Komentar