Bisa Banyak Bahasa Bikin Otak Tetap 'Muda' di Usia Senja

Kemampuan multibahasa dapat menjaga vitalitas otak seiring bertambahnya usia. 


Kemampuan multibahasa dapat menjaga vitalitas otak seiring bertambahnya usia.Foto Ilustrasi: Rawpixel.com/Freepik


Ringkasan 

  • Multibahasa berkaitan dengan risiko lebih rendah mengalami percepatan penuaan biologis otak.
  • Efek perlindungan tetap terlihat meski faktor kekayaan, pendidikan, dan latar belakang diurutkan.
  • Belajar bahasa memicu neuroplastisitas, meningkatkan konektivitas otak dan cadangan kognitif.


SELAMA ini, ilmuwan sudah tahu bahwa belajar bahasa baru dapat mengubah struktur otak. Namun, sebuah studi besar yang melibatkan lebih dari 86.000 orang dari 27 negara Eropa mengungkap temuan mencolok. 


Penelitian terbaru yang dipimpin oleh Agustín Ibáñez dari Adolfo Ibáñez University, Chile, menunjukkan bahwa manfaatnya jauh lebih dalam, yaitu menyentuh tingkat penuaan biologis otak. 


Studi yang dianalisis melalui model komputasional ini menghitung “biobehavioural age gap”, yaitu selisih antara usia biologis dan usia sebenarnya. Semakin besar gap-nya, semakin cepat otak menua.


Hasilnya, peserta yang hanya berbicara satu bahasa dua kali lebih mungkin memiliki biobehavioural age gap tinggi dibandingkan mereka yang berbicara dua bahasa atau lebih. 


“Satu bahasa tambahan saja sudah mengurangi risiko penuaan dipercepat. Dua atau tiga bahasa, efeknya makin besar,” kata Ibáñez dalam wawancara dengan Nature.


Yang membuat hasil ini semakin solid adalah fakta bahwa hubungan tersebut tetap konsisten meski peneliti mengontrol variabel seperti pendidikan, migrasi, dan status ekonomi.


Itu semua faktor yang biasanya memengaruhi kesehatan dan paparan bahasa.


Susan Teubner-Rhodes, psikolog kognitif dari Auburn University, menyebut ukuran sampel lintas-negara ini sebagai “pembuktian kuat” bahwa multibahasa, berperan dalam perlindungan otak sepanjang hidup.


Untuk memahami alasannya, kita perlu melihat bagaimana otak bekerja setiap kali seseorang beralih bahasa. 


Proses ini bukan kegiatan sederhana, otak harus menyalakan ulang serangkaian jaringan yang mengatur suara, tata bahasa, makna, memori, dan kendali perhatian.


Ini adalah contoh ekstrem dari neuroplastisitas, yakni kemampuan otak untuk membentuk jalur-jalur baru melalui latihan mental. 


Jennifer Wittmeyer, ahli saraf kognitif dari Elizabethtown College, menjelaskan pada Deutche Welle (DW). 


“Belajar bahasa baru seperti olahraga untuk otak. Secara struktural, ia meningkatkan densitas materi abu-abu di area pengolahan bahasa dan fungsi eksekutif,” kata Wittmeyer.


Penelitian sebelumnya menunjukkan peningkatan aktivitas di area Broca (struktur kalimat & produksi kata) dan area Wernicke (pemahaman dan ingatan verbal). 


Konektivitas jaringan antar-lobus otak pun meningkat, mempercepat pertukaran informasi yang terkait perhatian dan memori kerja.


Secara fungsional, konektivitas yang lebih tinggi berarti otak multibahasa bisa mengalihkan perhatian lebih cepat, memecahkan masalah lebih efisien, dan tetap fleksibel meskipun ada kerusakan alami karena usia.


Hal inilah yang disebut sebagai cadangan kognitif, semacam tabungan kemampuan otak yang memungkinkan kita tetap berfungsi meski sebagian jaringan mulai menurun. 


Masih mengutip dari DW, ini juga yang membuat multibahasa dikaitkan dengan kemampuan “bertahan” lebih lama dari gejala Alzheimer atau demensia. 


Namun, para peneliti mengingatkan, multibahasa bukan berarti seseorang otomatis lebih “pintar”. 


Arturo Hernandez dari University of Houston menjelaskan, multilingual cenderung punya lebih banyak konsep dan kata dalam memori. Namun, apakah itu mencerminkan kecerdasan lebih tinggi atau hanya jumlah kosakata lebih banyak, belum jelas.


Yang pasti, studi di Nature Aging tidak mengklaim multibahasa meningkatkan IQ, hanya memperlambat penuaan biologis otak dan meningkatkan ketahanan saraf terhadap penyakit degeneratif.


Terlepas dari manfaat biologisnya, aspek budaya dan psikologis dari multibahasa pun tidak kalah penting. 


Bahasa kedua membuka pintu pengalaman baru, literatur, pertemanan lintas budaya, dan cara berpikir yang berbeda. 


Teubner-Rhodes menegaskan bahwa hasil studi ini bisa menjadi motivasi bagi siapa pun untuk mulai belajar atau tetap menggunakan bahasa kedua mereka.


Dengan kata lain, menjaga streak belajar bahasa bukan hanya soal menyenangkan maskot aplikasi. Bisa jadi itu cara paling murah dan mudah untuk menjaga otak tetap muda.


Disadur dari ZME Science.


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama