Mengapa beberapa helai spaghetti tetap kenyal dan utuh saat direbus, sementara yang lain berubah jadi bubur lengket? Tim ilmuwan dari Universitas Lund, Swedia, menemukan jawabannya.
Ringkasan
- Gluten berperan sebagai “jaring elastis” yang menjaga pati agar tidak bocor saat direbus.
- Pasta bebas gluten mudah hancur jika suhu atau waktu perebusan tidak ideal.
- Garam ternyata berpengaruh pada kekuatan struktur pasta, bukan hanya rasa.
BAGI siapa pun yang pernah memasak spaghetti, momen ini pasti familiar: air mendidih, aroma sedap mulai muncul, dan ketika disaring, sebagian mie tampak sempurna, tapi sebagian lain hancur berantakan.
Apa yang sebenarnya terjadi di dalam panci?
Menurut riset terbaru dari Lund University di Swedia, jawabannya ternyata tersembunyi di level atomik—pada jaringan gluten dan bagaimana ia berinteraksi dengan air, panas, serta garam.
Dalam studi yang dipublikasikan di jurnal Food Hydrocolloids, para peneliti menggunakan Small-Angle Neutron Scattering dan X-ray analysis untuk melihat ke dalam struktur pasta hingga skala sepermiliar meter.
Hasilnya menunjukkan bahwa gluten bukan sekadar protein, tapi bertindak seperti jaring fleksibel yang melindungi pati di dalam adonan agar tidak “melarikan diri” ke air.
Saat direbus, pati mulai mengembang dan menekan ke luar, tetapi jaringan gluten meregang dengan teratur tanpa membiarkan pati pecah.
Sebaliknya, pada pasta bebas gluten—yang biasanya terbuat dari beras, jagung, atau sorgum—struktur pelindung ini digantikan oleh pengikat nabati seperti xanthan gum atau guar gum.
Masalahnya, jaring buatan ini jauh lebih sensitif terhadap suhu dan waktu. Sedikit terlalu panas atau terlalu lama direbus, maka struktur langsung runtuh.
Hasilnya: mie rapuh, lembek di pinggir, tapi masih keras di tengah—drama dapur yang akrab bagi banyak pecinta gluten-free pasta.
Andrea Scotti, dosen kimia fisik di Universitas Lund, menjelaskan bahwa pasta bebas gluten bukan gagal, tapi bekerja dengan logika struktural berbeda.
Ia dapat menghasilkan tekstur sempurna—asal perebusannya presisi hingga detik dan derajatnya tepat. Tapi di dapur rumah tangga yang sibuk, di mana waktu perebusan sering diukur dengan insting, perbedaan itu menjadi sangat kentara.
Riset ini juga menjawab misteri lama: kenapa kita selalu menambahkan garam ke air rebusan pasta? Selama ini banyak yang mengira fungsinya hanya untuk rasa.
Ternyata, garam juga memengaruhi kekuatan jaring gluten. Dalam jumlah yang pas, garam membantu jaringan gluten tetap kuat dan mencegah pasta terlalu lembek.
Namun, jika terlalu banyak, garam justru bisa merusak keseimbangan air dan melemahkan struktur, terutama pada pasta bebas gluten yang lebih rapuh.
Yang menarik, tim peneliti tak berhenti di dapur. Mereka kini berencana meniru kondisi di dalam lambung manusia untuk memahami bagaimana struktur pasta memengaruhi pencernaan dan pelepasan energi dari pati.
Dengan kata lain, bentuk spaghetti bukan hanya soal kenikmatan makan—tetapi juga tentang nutrisi, indeks glikemik, dan desain pangan masa depan.
Penelitian ini menunjukkan bahwa pasta bukan sekadar “makanan sederhana”, melainkan hasil rekayasa kuliner ribuan tahun yang melibatkan kimia, fisika, dan seni memasak.
Mungkin setelah ini, setiap kali kita mengaduk spaghetti di panci, kita akan mengingat bahwa di balik kelezatan itu ada dunia mikroskopis yang bekerja keras menjaga mie tetap utuh.
Disadur dari Earth.com.

Posting Komentar