Sebuah studi baru yang melibatkan lebih dari 6.000 pasangan kembar di Belanda menantang anggapan bahwa media sosial secara langsung membuat orang bahagia atau depresi.
Ringkasan
- Pengaruh media sosial terhadap kesejahteraan ternyata kecil dan sebagian berasal dari faktor genetik.
- Orang dengan tingkat kesejahteraan lebih tinggi cenderung memakai lebih banyak platform, tapi secara pasif.
- Studi ini menyerukan pendekatan yang lebih personal daripada menyalahkan media sosial secara umum.
APAKAH media sosial benar-benar merusak kesehatan mental kita, atau kita hanya mencari kambing hitam baru di era digital?
Sebuah studi yang dipublikasikan di jurnal Behavior Genetics menambahkan perspektif segar dalam debat panjang tentang hubungan antara Instagram, TikTok, dan kondisi psikologis manusia.
Peneliti menggunakan data genetik dari 6.492 orang kembar berusia 16–89 tahun dari Netherlands Twin Register.
Dengan desain klasik studi kembar, mereka mampu memisahkan pengaruh genetika, lingkungan bersama, dan lingkungan individu terhadap perilaku digital dan kesejahteraan hidup.
Hasilnya cukup mengejutkan. Hubungan antara penggunaan media sosial dan tingkat kebahagiaan atau gejala depresi ternyata sangat kecil.
Hingga 72% variasi dalam seberapa sering seseorang memakai medsos dapat dijelaskan oleh faktor genetik. Artinya, sebagian dari cara kita berinteraksi dengan dunia digital mungkin sudah "tertanam" dalam diri kita sejak lahir.
Menariknya, individu dengan tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi justru cenderung menggunakan lebih banyak platform, tapi lebih pasif—mereka lebih suka scrolling daripada posting.
Sebaliknya, mereka yang memiliki kesejahteraan rendah lebih aktif mem-posting, namun di lebih sedikit platform.
Hal ini menunjukkan bahwa gaya berinteraksi di media sosial bisa mencerminkan kondisi psikologis seseorang, bukan penyebab utamanya.
“Penelitian kami membantu menggeser percakapan dari klaim sederhana bahwa media sosial itu ‘baik’ atau ‘buruk’. Efeknya kecil, dan yang lebih penting, dibentuk oleh perbedaan genetik tiap individu.”
Demikian Selim Sametoglu, peneliti utama studi ini, tegaskan, seperti dikutip dari Medical Xpress.
Temuan ini mengingatkan kita agar tidak terburu-buru menyalahkan media sosial atas segala masalah mental.
“Kita tak seharusnya membiarkan judul berita sensasional seperti ‘media sosial beracun’ mengalihkan perhatian kita dari hal yang lebih penting: tiap individu memiliki konteks, genetika, dan dukungan sosial yang berbeda.”
Pendekatan “satu resep untuk semua” jelas tidak efektif. Bagi para peneliti, pendidik, dan pembuat kebijakan, studi ini menjadi pengingat untuk mengambil langkah berbasis bukti, bukan ketakutan.
Sebaliknya, fokus harus diarahkan pada siapa yang paling rentan atau paling tangguh terhadap efek dunia digital—karena tidak semua pengguna media sosial mengalami dampak yang sama.
Disadur dari Medical Xpress.

إرسال تعليق