Kekuatan Sesungguhnya Bukan Algoritma, Ahli Tekankan AI Harus 'Rendah Hati'

Dalam dunia belanja digital yang makin digerakkan oleh kecerdasan buatan (AI), satu penelitian baru justru menegaskan hal sebaliknya kekuatan sesungguhnya bukan pada algoritma, melainkan pada manusia. 


Dalam dunia belanja digital yang makin digerakkan oleh kecerdasan buatan (AI), satu penelitian baru justru menegaskan hal sebaliknya kekuatan sesungguhnya bukan pada algoritma, melainkan pada manusia.Foto Ilustrasi: rawpixels.com/Freepik


Ringkasan 

  • Penelitian menunjukkan bahwa memberdayakan konsumen, bukan algoritma, meningkatkan penjualan dan mengurangi retur.
  • AI sering gagal memahami faktor personal dan emosional dalam keputusan pembelian.
  • Desain AI masa depan perlu “rendah hati”—berperan sebagai mitra manusia, bukan pengganti.


STUDI dari University of Miami dan beberapa universitas lain menemukan, memberi kendali lebih besar kepada konsumen, bukan menyerahkan keputusan kepada AI, punya banyak dampak positif.


Tak hanya bisa meningkatkan penjualan, juga menurunkan tingkat pengembalian barang, dan membangun kepercayaan jangka panjang antara pembeli dan merek.


Selama bertahun-tahun, dunia e-commerce percaya bahwa semakin canggih algoritma, semakin baik keputusan belanja yang bisa dihasilkan. Namun menurut Paul A. Pavlou, dekan University of Miami Business School, logika itu keliru. 


Dalam penelitian yang diterbitkan di jurnal MIS Quarterly, Pavlou dan timnya menyoroti pentingnya human agency, rasa kendali dan otonomi manusia, dalam era belanja berbasis AI.


AI memang jenius dalam mengenali pola. Ia tahu merek sepatu apa yang sedang tren, warna mana yang paling sering dibeli, atau ukuran yang paling sering cocok. 


Tapi, kata Pavlou, AI tidak bisa memahami alasan pribadi di balik pilihan seseorang.


Dia mencontohkan, mengapa seseorang memilih warna yang mengingatkannya pada neneknya, atau mengapa seseorang memilih ukuran lebih kecil karena sedang berjuang menurunkan berat badan. 


Itulah yang disebut peneliti sebagai “uniqueness neglect” atau kecenderungan AI untuk mengabaikan keunikan manusia.


Ketika konsumen diberi ruang untuk membuat keputusan yang benar-benar mereka pilih sendiri, hasilnya justru lebih baik. Mereka merasa pilihan itu mencerminkan diri mereka, bukan sekadar hasil “rekomendasi pintar.” 


Dalam eksperimen dan uji lapangan nyata, tim peneliti menemukan bahwa otonomi konsumen bukan cuma hal psikologis yang menyenangkan, tetapi juga menguntungkan secara bisnis.


Salah satu intervensi sederhana tapi efektif dengan membiarkan pembeli menggunakan ponsel mereka sendiri saat berinteraksi dengan sistem AI toko, alih-alih memakai perangkat yang disediakan pengecer. 


Pendekatan ini menciptakan private self-focus”, fokus pribadi yang membuat konsumen lebih sadar pada preferensi mereka. Hasilnya? Penjualan meningkat dan angka retur menurun drastis.


Pavlou menyebut pendekatan ini sebagai bentuk AI humility tahu kerendahan hati dalam desain kecerdasan buatan. 


Artinya, AI tidak boleh bertindak seolah-olah tahu segalanya, tetapi harus mau menjadi “rekan berpikir” bagi manusia. Di sinilah masa depan AI yang sehat: bukan menggantikan pilihan manusia, tetapi memperkuatnya.


Implikasi penelitian ini melampaui dunia belanja. Di bidang kesehatan, pendidikan, bahkan layanan publik, AI yang menghormati otonomi manusia bisa menghasilkan keputusan yang lebih etis dan bermakna. 


Dalam kata lain, teknologi yang memahami batasnya sendiri justru lebih bisa dipercaya.


Seperti kata Pavlou, “AI masa depan tidak akan menggantikan pilihan manusia, ia akan memperkuat kebijaksanaan manusia.”


Disadur dari Tech Xplore.


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama