Jebakan Sosial di Era Digital, Banyak Teman Malah Bikin Konflik

Makin banyak teman ternyata tidak selalu berarti makin harmonis. 


Makin banyak teman ternyata tidak selalu berarti makin harmonis.Foto Ilustrasi: lookstudio/Freepik


Ringkasan

  • Jumlah teman dekat naik dua kali lipat antara 2008–2010, bersamaan dengan lonjakan polarisasi.
  • Jaringan sosial yang makin rapat justru mempercepat fragmentasi dan konflik ideologis.
  • Ledakan media sosial dan smartphone diduga jadi pemicu utama perubahan ini.


SEBUAH studi baru menunjukkan bahwa semakin luas lingkaran sosial seseorang, semakin besar pula risiko polarisasi dalam masyarakat. 


Riset ini menemukan bahwa antara 2008 dan 2010, tepat ketika media sosial mulai merajalela, rata-rata jumlah teman dekat melonjak dari dua menjadi lima orang.


Pada saat yang sama tingkat perpecahan ideologis di masyarakat ikut meningkat drastis.


Penelitian yang dipublikasikan di Proceedings of the National Academy of Sciences oleh tim Complexity Science Hub (CSH), Austria, mengungkap paradoks menarik: semakin kita terkoneksi, semakin mudah kita terbelah. 


“Ketika kepadatan jaringan sosial meningkat, polarisasi kolektif ikut naik tajam,” jelas Markus Hofer, salah satu peneliti utama. 


Artinya, semakin banyak hubungan yang kita bangun, semakin besar peluang kita terjebak dalam “gelembung” ideologis yang eksklusif.


Dulu, menurut data sosiologis selama beberapa dekade, rata-rata orang hanya punya dua teman dekat—orang yang benar-benar memengaruhi opini atau pandangan politiknya. 


Namun setelah 2008, angka itu melonjak menjadi empat hingga lima teman dekat, menurut Jan Korbel dari CSH. 


Fenomena ini bertepatan dengan masa ketika Facebook, Twitter, dan smartphone mulai menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial.


Yang mengejutkan, penelitian ini menemukan bahwa peningkatan jumlah teman justru mengurangi toleransi sosial. 


“Jika saya hanya punya dua teman, saya akan berusaha keras mempertahankan keduanya. Tapi kalau punya lima, saya bisa saja memutus hubungan dengan satu orang tanpa banyak konsekuensi,” ujar Stefan Thurner, peneliti utama. 


Hasilnya, masyarakat kehilangan dasar toleransi—dan perbedaan pendapat pun makin sering berubah menjadi permusuhan.


Data dari Pew Research Center memperkuat temuan ini. Antara 1999 dan 2017, jumlah orang Amerika yang secara konsisten berpandangan liberal naik dari 14% menjadi 31%, sementara yang konservatif naik dari 6% menjadi 16%. 


Artinya, semakin sedikit orang yang memegang pandangan campuran, dan semakin banyak yang memilih kubu tegas—kiri atau kanan.


Lebih menarik lagi, para peneliti menggunakan model matematika sosial untuk menunjukkan bahwa ketika kepadatan hubungan sosial melewati ambang tertentu—sekitar antara tiga dan empat hubungan dekat—polarisasi meningkat tajam seperti “transisi fase” dalam fisika: air yang tiba-tiba membeku menjadi es.


Era smartphone tampaknya menjadi “titik beku” itu. Hubungan yang tampak makin banyak justru berubah menjadi fragmentasi sosial: kelompok kecil yang sangat kompak di dalam, tapi saling menutup diri dari luar. 


“Demokrasi hanya bisa bertahan jika semua pihak masih bisa berbicara satu sama lain. Ketika jembatan komunikasi hilang, demokrasi pun retak,” kata Thurner.


Jadi, semakin luas lingkaran sosial kita di dunia maya, bukan berarti semakin sehat bagi masyarakat. Justru sebaliknya—terlalu banyak koneksi bisa berarti terlalu sedikit empati.


Disadur oleh Phys.org


Post a Comment

أحدث أقدم