Teori Lama Dianggap Usang untuk Pahami Hubungan Unik Pekerja dan Mesin

Para peneliti dari University of Kansas mengusulkan teori baru bernama Socio-Technical Exchange (STE) untuk memahami bagaimana pekerja berinteraksi dengan teknologi di tempat kerja modern. 


Para peneliti dari University of Kansas mengusulkan teori baru bernama Socio-Technical Exchange (STE) untuk memahami bagaimana pekerja berinteraksi dengan teknologi di tempat kerja modern.Foto Ilustrasi: tirachardz/Freepik 


Ringkasan

  • Teori ini lebih cocok untuk menggambarkan hubungan pekerja dengan teknologi modern.
  • Mesin punya peran unik, dipercaya objektif, konsisten, tapi lemah dalam penilaian subjektif.
  • Pekerja membentuk kepercayaan dan kebiasaan tertentu terhadap mesin, mirip hubungan dengan kolega manusia.


STE dianggap lebih relevan dibanding teori lama Social Exchange Theory (SET) yang lahir di era 1960-an, karena kini mesin dan perangkat digital sudah jadi “rekan kerja” sehari-hari.


Dalam penelitian yang diterbitkan di Human-Machine Communications Journal, Cameron Piercy dan Reaia Turner-Leatherman mewawancarai hampir dua lusin pekerja dari berbagai latar belakang. 


Mereka menemukan bahwa pola hubungan pekerja dengan teknologi tidak bisa sekadar disamakan dengan hubungan antar-manusia.


Kalau SET menjelaskan bahwa orang cenderung berinteraksi dengan pihak yang memberi keuntungan dan menghindari yang merugikan, maka STE lebih menekankan pada cara pekerja menilai teknologi dalam konteks kerja sehari-hari. 


Misalnya, pekerja menilai komputer atau perangkat lunak tertentu “berharga” karena objektif dan konsisten, tapi di sisi lain mereka menyadari keterbatasan mesin dalam hal penilaian yang sifatnya subjektif.


Contohnya, menilai kinerja atau menentukan siapa yang pantas dipromosikan.


Para peneliti menemukan fenomena yang menarik. Pekerja cenderung lebih suka bertanya hal-hal sederhana atau yang sifatnya “memalukan” ke mesin daripada ke kolega. 


Sebab, mesin tidak menghakimi. Namun, ketika dibutuhkan keahlian mendalam, pekerja tetap lebih mempercayai manusia.


Penilaian ini disebut sebagai “machine heuristics”, yakni keyakinan pekerja tentang kemampuan dan keterbatasan mesin yang terbentuk lewat pengalaman berulang. 


Jadi, mesin dipandang bukan hanya alat, tetapi juga “partner kerja” dengan peran tertentu.


Penelitian ini dilakukan pada 2022, sebelum teknologi AI generatif seperti ChatGPT meledak. Tapi bahkan saat itu, hasilnya sudah menunjukkan bahwa manusia merasa punya ketergantungan dengan mesin.


Selain itu, para pekerja juga membangun pola pikir yang stabil tentang kapan sebaiknya menggunakan manusia dan kapan menggunakan mesin.


Dengan semakin meluasnya penggunaan AI di tempat kerja, teori Socio-Technical Exchange (STE) bisa membantu perusahaan memahami dinamika kerja baru. 


Bukan sekadar soal efisiensi, tapi juga bagaimana pekerja membangun kepercayaan, ekspektasi, dan bahkan emosi dalam interaksi mereka dengan teknologi.


Teori ini membuka peluang riset baru tentang etika, produktivitas, hingga kesejahteraan pekerja di era digital. Karena, seperti halnya dengan manusia, hubungan kita dengan mesin ternyata juga penuh nuansa.


Disadur dari Tech Xplore.


Post a Comment

أحدث أقدم