Misteri Pewarna Biru 34.000 Tahun di Alat Batu Purba

Para arkeolog menemukan jejak pewarna biru indigo pada alat batu berusia 34.000 tahun di sebuah gua di Georgia. 


Para arkeolog menemukan jejak pewarna biru indigo pada alat batu berusia 34.000 tahun di sebuah gua di Georgia.Ilustrasi dibuat oleh AI.


Ringkasan

  • Alat batu dari Gua Dzudzuana, Georgia, mengandung residu indigotin, zat biru indigo.
  • Proses pembuatannya butuh teknik kimia sederhana, bukti kecerdasan manusia purba.
  • Pewarna ini kemungkinan digunakan sebagai obat alami sekaligus bahan pewarna.


SEBUAH studi membuka wawasan baru tentang manusia purba yang sudah memproses tanaman bukan hanya untuk makanan, melainkan juga untuk tujuan lain yang lebih kompleks, mungkin obat, mungkin juga seni.


Penelitian ini dilakukan oleh tim yang dipimpin Laura Longo dari Ca’ Foscari University of Venice dan dipublikasikan di jurnal PLOS One. 


Mereka meneliti enam batu kerikil sungai yang digunakan sebagai alat tumbuk dan penggiling. 


Permukaan batu menunjukkan bekas penggunaan intensif. Saat diteliti dengan mikroskop canggih, para peneliti menemukan residu biru yang tersimpan di pori-porinya.


Zat biru itu diidentifikasi sebagai indigotin, senyawa yang sama dengan pewarna indigo pada jeans modern. 


Bedanya, jika sekarang kita membuatnya secara sintetis, manusia Paleolitik kala itu mengolah tanaman Isatis tinctoria atau woad, tanaman asli wilayah Kaukasus.


Yang menarik, indigotin tidak muncul begitu saja di daun woad. Daunnya sebenarnya berwarna hijau, dan baru berubah menjadi biru setelah dihancurkan dalam kondisi basa dan terkena oksigen. 


Dengan kata lain, 34.000 tahun lalu manusia purba sudah tahu cara mengolah tanaman lewat mekanisme kimia sederhana, bukan sekadar mengunyah daun atau merebusnya.


Lalu, buat apa mereka repot-repot menghasilkan warna biru ini? Ada dua kemungkinan besar. Pertama, sebagai obat alami. Woad dikenal memiliki sifat antiinflamasi, antimikroba, dan antivirus


Dalam pengobatan tradisional, tanaman ini digunakan untuk luka dan infeksi. Hewan liar pun kadang memanfaatkannya untuk self-medication. Bisa jadi manusia purba sudah menyadari khasiat ini.


Kedua, sebagai pewarna. Warna biru sangat langka di alam, sehingga keberhasilan menciptakan pigmen biru tentu punya nilai budaya dan simbolis tinggi. 


Kita tahu manusia Paleolitik sudah menggunakan oker merah dan pigmen mineral lain untuk lukisan gua atau hiasan tubuh.


Jika benar, maka ini adalah bukti tertua penggunaan tanaman sebagai sumber pewarna—lebih rumit daripada sekadar mengambil pigmen dari batu atau tanah.


Yang menarik, bisa saja kedua fungsi itu berjalan bersamaan. Sama seperti banyak budaya tradisional yang memanfaatkan satu tanaman untuk berbagai keperluan, manusia Paleolitik mungkin menemukan bahwa “obat” mereka juga bisa jadi pewarna yang indah.


Tim peneliti juga menggunakan teknologi mutakhir seperti spektroskopi molekuler dan sinar-X synchrotron untuk memastikan temuan ini bukan kontaminasi modern. 


Hasilnya jelas, residu itu benar-benar peninggalan zaman Paleolitik.


Temuan ini menegaskan bahwa manusia 34.000 tahun lalu tidak hanya bertahan hidup, tapi juga sudah punya pengetahuan ekologi yang canggih.


Mereka mampu mengeksplorasi sumber daya alam dengan cara yang kreatif, menggabungkan fungsi praktis dan estetika. Seperti kata tim riset: setiap potongan informasi baru membuka jendela luar biasa menuju masa lalu kita.


Disadur dari The Debrief.


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama